Quantcast
Channel: Review – InfoFotografi
Viewing all 238 articles
Browse latest View live

Kamera baru : FujiFilm X-T10 dan Panasonic Lumic DMC-G7

$
0
0

Baru saja ada dua kabar menarik hadir hampir bersamaan, yaitu FujiFilm meluncurkan kamera mirrorless Fuji X-T10 dan Panasonic juga merilis Lumix DMC-G7. Dari segmentasinya, Fuji X-T10 dimaksudkan sebagai versi ‘ekonomis’ dari X-T1 yang populer, sedangkan Lumix G7 adalah penerus dari Lumix G6 (yang juga ditujukan sebagai versi ‘ekonomis’ dari Lumix GH4) yang berada diatas seri GF dan dibawah seri GX dan GH. Secara kebetulan, Fuji X-T10 dan Lumix G7 dijual di kisaran harga yang mirip (800-900 USD), spesifikasi dan fitur yang dimiliki juga banyak kesamaan.

Kedua kamera 16 MP ini misalnya sama-sama menjadi kamera mirrorless yang punya jendela bidik yang detail (2,36 juta dot), punya dua roda kendali setting, built-in flash dan hot shoe, serta banyak fungsi kustomisasi tombol. Deretan fitur itu kerap menjadi must-have features pada kamera untuk fotografer yang lebih serius, selain itu fitur must have untuk kamera 2015 seperti fitur Wifi juga ada pada kedua kamera. Dari bentuknya memang Fuji X-T10 masih mengadopsi desain retro klasik, sedang Lumix G7 membawa kesan modern futuristik, dan ukuran keduanya juga kurang lebih sama.

Fuji X-T10

Fuji X-T10 dari depan, tampak sensor ukuran APS-C

Dalam banyak hal Fuji X-T10 memang masih banyak kemiripan dengan Fuji X-T1, misalnya dibuat dengan desain bodi berbahan magnesium alloy (namun tidak weathersealed) dan ada roda pengaturan shutter speed di bagian atas bodi. Bedanya kini X-T10 justru menyediakan pop-up flash, walau sebagai komprominya ukuran jendela bidik jadi mengecil.

Fuji X-T10 back

Fuji tampak belakang, tombol 4 arah tidak ada labelnya karena bisa dikustomisasi

Hal-hal yang menarik dari Fuji X-T10 adalah tentu saja kekuatan sensornya (X trans APS-C), desain retro klasik yang mengingatkan pada kamera Fujica jaman dulu, sistem auto fokus deteksi fasa yang kinerjanya sudah setara dengan update firmware terkini Fuji X-T1 (seperti ada zone AF dan eye detect AF) dan ada digital split image untuk manual focus. Soal kinerja masih tetap impresif dengan lag sangat singkat, ISO 25600, 8 fps, shutter speed hingga 1/32000 elektronik, dan tentunya berbagai Film Simulation yang disukai banyak fans Fuji.

Lumix G7

Lumix G7 dari depan, tampak grip yang mantap dan sensor Micro 4/3 (crop 2x)

Lumix G7 di sisi lain memang tidak memberi kejutan pada sensor yang dipakai, kabarnya sensor di G7 adalah sama dengan yang dipakai di GF7 yaitu Live MOS 16 MP dengan crop factor 2x. Sensor Micro 4/3 mungkin terkesan kalah dalam hal ukuran, namun Panasonic mengklaim teknologi Venus Engine terbarunya mampu memaksimalkan performa sensor ini sehingga bisa dipaksa hingga ISO 25600, bisa rekam dan ambil foto resolusi 4K (foto 4K itu setara 8 MP dan sekali jepret akan diambil 30 frame).

Lumix G7 back

Lumix dari belakang, tampak ada tuas mode fokus melingkari tombol AF lock.

Lumix G7 mengabil konsep desain bodi modern futuris, juga mengadopsi teknologi auto fokus deteksi kontras DFD milik GH4. Sistem layar LCD putar yang bisa disentuh tentu lebih memudahkan penggunanya. Jendela bidik OLED 0,7x juga sudah termasuk mewah untuk ukuran kamera seharga 8 jutaan ini.

Opini saya (Erwin Mulyadi) :

Fuji X-T10 akan meneruskan sukses X-T1 sebagai kamera berkualitas, kinerja tinggi dan bisa dipakai dari penghobi pemula sampai mahir. Selisih harga yang cukup jauh ditebus dengan hilangnya bodi tahan cuaca (weathersealed body), jendela bidik mengecil dan tidak lagi dibuat di Jepang, bagi saya tidak masalah karena esensinya kamera X-T10 masih tetap sama dengan X-T1. Kamera ini akan berhadapan langsung dengan sesama mirrorless APS-C setara (misal Sony A6000 atau penerusnya, Samsung NX30) atau DSLR dengan harga setara (Nikon D5500, Canon 760D) dan hadirnya X-T10 ini bisa jadi akan membuat kamera Fuji X-M1 jadi kurang diminati karena harga terpaut sedikit tapi X-M1 tidak ada jendela bidik dan autofokus yang lebih canggih.

Sistem kamera Fuji tentu tidak lepas dari koleksi lensanya, faktanya memang lensa-lensa Fuji XF punya kualitas tinggi namun juga dijual dengan bandrol harga yang tidak murah. Sehingga mereka yang akan membeli Fuji X-T10 karena semata-mata ingin kamera yang lebih murah dari X-T1 sebaiknya perlu berpikir juga tentang investasi lensanya ke depan. Fuji X-T10 lebih cocok ditujukan bagi mereka yang ingin bodi lebih kecil dan lebih ringan dari X-T1 atau sudah punya kamera Fuji kelas atas (X-Pro, X-E atau X-T1) dan mencari kamera kedua untuk pendamping atau cadangan.

Di lain pihak Lumix G7 merupakan regenerasi rutin dan memperbaiki beberapa hal dari Lumix G6 dan Panasonic boleh untuk mengambil hal-hal baik dari GH4 (kamera kelas atas mereka) seperti fitur DFD untuk auto fokus yang cepat, dan kemampuan prosesor quad core untuk menangani data 4K yang sangat tinggi (dan kartu memori kecepatan ekstra tinggi). Panasonic (dan Olympus) memang belum membuat terobosan dalam hal sensornya karena memang batas 16 MP sudah push to the limit bagi sensor ukuran Four Thirds.

Maka itu kamera G7 ini walau secara hasil foto sedikit kalah dibanding kamera lain dengan sensor yang lebih besar (APS-C apalagi full frame), namun tetap menarik untuk dipertimbangkan karena value vs feature yang seimbang. Sensor yang ukurannya lebih kecil bisa disikapi positif juga, misal ukuran lensa yang ada jadi lebih kecil cukup signifikan, cocok bagi yang suka peralatan ringkas dan tidak berat. Lagipula lensa sistem Micro Four Thirds didukung oleh Panasonic dan Olympus juga, lebih banyak pilihan dan harganya umumnya tidak terlalu mahal. Dengan sistem Micro 4/3 ini membuka peluang kita untuk bisa punya lensa berkualitas dengan harga lebih terjangkau dan ukuran lebih kecil, sesuatu yang mungkin di sistem APS-C terasa hampir mustahil.

Opini Enche Tjin

Entah kebetulan atau disengaja, pengumuman kedua kamera berada di hari yang sama dengan harga yang tidak jauh berbeda. Fujifilm XT10 tidak menawarkan perkembangan signifikan (selain firmware autofokus barunya), sedangkan Panasonic G7 juga sama, fitur-fiturnya banyak yang diwariskan dari abangnya, Panasonic GH4. Dijual dibawah $1000 (Rp 10 juta), keduanya berusaha menarik minat penggemar fotografi yang merasa kamera Fuji XT-1 dan Panasonic GH4 terlalu mahal.

Yang saya cermati juga, desain kedua kamera kini beralih ke model DSLR (ada punuk ditengah kamera untuk jendela bidik). padahal awalnya bergaya rangefinder yang bentuknya kotak dan jendela bidik jika ada berada disisi kiri seperti Fuji seri XPRO dan XE. Desain ala DSLR ini mungkin ditujukan untuk pengguna kamera DSLR untuk merasa nyaman dan tertarik pindah ke kamera mirrorless yang lebih ringan dan kecil dimensinya.

Fujica ST605 - Kamera DSLR Fuji era 1970-an

Fujica ST605 – Kamera DSLR Fuji era 1970-an

Untuk fotografer yang hanya berkonsentrasi di fotografi dan memprioritaskan kualitas foto, Fujifilm XT10 saya pikir lebih cocok, karena diatas kertas, sensor APS-C dan X-Trans lebih unggul dari sensor micro four thirds meskipun jumlah pixelnya sama (16MP). Kualitas lensa Fuji juga sudah teruji (tapi sebagian lensa zoom Fuji agak besar dan harganya tinggi).

Di ranah video, Panasonic G7 memberikan angin segar ke videografer independent yang terbatas budgetnya. G7 ini jauh lebih bagus dari Fuji X10 dengan pilihan merekam video resolusi 4K. Apalagi saat ini untuk bisa merekam video 4K tidak banyak pilihan dan rata-rata cukup mahal (Panasonic GH4, Sony A7S + Atomos Shogun, Samsung NX1 dan NX500).

Bagi casual action/wildlife photography, G7 juga menarik karena kita bisa merekam video 4K dan kemudian mengextract foto berkualitas tinggi dari video tersebut (satu frame foto 8 MP) sehingga kita bisa memilih momen yang paling pas, sekaligus mendapatkan rekaman videonya. Layar sentuh dan grip (pegangan) yang lebih dalam juga potensial membuat user experience lebih menyenangkan.


Review Sony Zeiss FE 35mm f/1.4 ZA Distagon T*

$
0
0

Sudah cukup lama pengguna kamera mirrorless Sony mendambakan lensa berbukaan besar yang profesional. Sebelum lensa Sony FE 35mm f/1.4 ini, Sony memiliki beberapa lensa berbukaan besar seperti Sony FE 55mm f/1.8. Sony FE 35mm f/2.8., Zeiss Loxia 35mm f/2. Jika masih belum puas dengan lensa-lensa yang sudah tersedia, biasanya pengguna kamera mirrorless Sony direkomendasikan untuk mengunakan lensa Sony A-mount dengan adapter. Meskipun lensa 55mm f/1.8 dan 35mm f/2.8 secara kualitas optik sangat baik, tapi bukaan maksimum f/1.8 dan f/2.8 tidak terlalu mengesankan bagi penggemar fotografi serius dan profesional.

sony-fe-35mm-f14-01Lensa Sony Zeiss FE 35mm f/1.4 ini merupakan jawaban Sony dan merupakan lensa fix 35mm yang terbaik saat ini. Kamera ini memiliki desain yang cukup unik karena adanya aperture ring di lensa. Sampai saat ini, hanya lensa ini yang memiliki fitur ini. Pilihan bukaan lensa mulai dari yang terbesar f/1.4 sampai f/16. Pilihan antara 1/3 stop juga tersedia, demikian juga pilihan A (Auto). Ada tuas Click (ON-OFF) untuk mengatur bukaan lensa dengan mulus tanpa klik/step. Biasanya ON untuk fotografi dan OFF untuk videografer untuk mengubah bukaan lensa saat merekam video).

sony-fe-35mm-f14-02

Built-quality dari lensa ini tergolong profesional, weather sealing, termasuk tahan air dan debu dan kelembababan untuk fotografi di cuaca yang tidak bagus.

Lensa berbukaan besar dan built-quality yang berkualitas tinggi disertai dengan adanya aperture ring mengakibatkan dimensi lensa agak besar dan juga beratnya lumayan. Dibandingkan dengan lensa DSLR profesional Canon dan Nikon, yang Sony sedikit lebih panjang dan berat (11,2 cm, 630 gram). Sebagai perbandingan: Lensa Canon 35mm f/1.4 L (panjang 8,64 cm, berat 580 gram). Nikon AF-S 35mm f/1.4 (panjang 8,94 cm, berat 601 gram).

Image Quality

Di pasang di Sony A7s (12MP), ketajaman lensa ini sangat tinggi sampai di tingkat pixel (Zoom 100%/actual pixel). bahkan di bukaan terbesar f/1.4, di pasang di kamera Sony A7 mk II (24 MP), ketajaman di tingkat pixel tidak setajam saat dipasang di kamera resolusi 12 MP, tapi cukup tajam. Ruang tajam sangat tipis saat memotret dengan bukaan besar (f/2.8-f/1.4) terutama saat memotret subjek dari jarak dekat (close-up). Foto-foto di artikel ini mengunakan kamera Sony A7 mk II.

Distorsi hanya sedikit (kurang lebih 1%) ada tapi mudah dibetulkan dengan software, dan masih lebih bagus daripada lensa lebar pada umumnya (sekitar 2-4%). Tidak perlu dikuatirkan. Vinyeting (gelap di ujung foto) ada, terutama di bukaan terbesar, tapi menurut saya tidak perlu dikuatirkan juga. Warna, kontras lensa ini sangat bagus. Bagian yang tidak fokus/blur juga cukup bagus. Chromatic abberation hanya muncul saat foto kontras tinggi seperti hitam diatas putih dan saat di zoom 100%. Tidak muncul saat mencetak ukuran sedang (A3-A2).

Kesimpulannya kualitas gambar hasil lensa ini sangat baik dan sedikit kelemahannya relatif dengan lensa Sony FE lainnya.

Kecepatan autofokus

Kinerja autofokus lensa ini cukup cepat saat dipasang di kamera A7 mk II, juga tidak bersuara. Saya mendapati kecepatan autofokusnya melambat saat mengunakan bukaan kecil seperti f/8-f/16. Saat mengunakan di bukaan besar, f/2.8-f/1.4 kecepatan autofokus masih baik meskipun di tempat yang cukup gelap misalnya saat memotret matahari terbenam.

Pengalaman memotret dengan Sony 35mm f/1.4

Saya menikmati memotret dengan lensa Sony 35mm f/1.4 karena kualitas gambar yang bagus dan kendali aperture ring yang unik untuk lensa Sony. Bagian out of focus (blur/bokehnya) sangat bagus dan smooth. Yang saya sayangkan adalah lensa cukup besar dan berat relatif terhadap lensa fix Sony lainnya seperti Sony FE 35mm f/2.8 atau FE 55mm f/1.8. Tapi saya bisa memaklumi karena jika dibuat lebih ringkas dan ringan, mungkin ada yang mesti dikompromikan, seperti maksimum bukaan yang lebih kecil, distorsi yang lebih menonjol, atau ketajaman yang berkurang.mille-crepe-01 ice-lemon-tea-01

Kesimpulan

Lensa ini dibuat tanpa kompromi oleh Sony dan Zeiss. Biasanya, Sony dan Zeiss mengorbankan bukaan lensa, atau kualitas (distorsi, vinyet, dll) demi untuk ukuran lensa supaya kecil dan harga yang lebih terjangkau. Tapi untuk Zeiss 35mm f/1.4 Sony dan Zeiss tidak berkompromi. Saya senang akhirnya Sony mengeluarkan lensa semacam ini. Jarak fokus 35mm adalah salah satu focal length yang populer, untuk travel, kondisi kurang cahaya, video, environmental portrait dan sebagainya.

Harga lensa ini USD$1598 atau sekitar Rp 22 juta. Salah satu lensa yang paling tinggi harga relatif terhadap lensa Sony FE lainnya. Meskipun demikian saya rasa pantas karena kualitas dari lensa ini sangat bagus. Sebelum membeli lensa ini, saya ingin mengingatkan Anda bahwa ini bukan lensa zoom yang lebih praktis, kita perlu banyak jalan/berpindah untuk komposisi. Tapi ini sebenarnya merupakan hal yang bagus, dengan banyak bergerak, badan lebih sehat.

Kelebihan lensa Sony Zeiss FE 35mm f/1.4 

  • Kualitas gambar (ketajaman, kontras, warna sangat baik)
  • Kualitas fisik lensa sangat baik
  • Aperture ring di lensa, bisa di click/mulus (berguna untuk video)
  • Autofokus cepat dan senyap

Kekurangan lensa Sony Zeiss FE 35mm f/1.4

  • Ukuran dan berat
  • Harga relatif tinggi

Jika ingin membeli lensa ini, boleh menghubungi kami  0858 1318 3069 / infofotografi@gmail.com untuk memesan, atau order via ranafotovideo.com

Spesifikasi lensa Sony FE 35mm f/1.4

  • Filter 72mm
  • Lensa FE, bisa dipasang di Sony A7, Sony NEX, Sony APS-C
  • Berat 630 gram
  • Dimensi:  78.5 x 112mm
  • Magnifikasi : 0.18x
  • Jarak fokus minimum : 30 cm
  • Bilah diafragma : 9, berbentuk bulat
  • Bukaan: f/1.4 sampai f/16
  • Sudut : 64 derajat di full frame, 44 derajat di kamera APS-C

pintu

cat-gallery

zeiss-35mm-01

artist

Shanny SN 600SN review flash

$
0
0

Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya Shanny SN 600SN telah tersedia. Flash ini adalah alternatif yang lebih terjangkau dari flash terbaik Nikon saat ini, Nikon SB910 yang harganya Rp 5.15 juta, sedangkan Shanny SN600SN ini dijual dengan harga Rp 1.9 juta saja, sudah dengan pouch, omnibounce dan kaki flash. Kekuatan flash ini juga sama dengan flash Nikon SB910 yaitu GN 60, juga fitur-fiturnya.

Saat dipasang di atas kamera, Flash Shanny SN600SN bisa difungsikan secara mode auto (i-TTL), manual (M), repeating flash (RPT), dan berlaku sebagai master (dapat mengendalikan kekuatan dan memicu flash-flash yang compatible dengan sistem creative flash Nikon (CLS)).

shanny-sn600sn-01

sistem Master CLS Nikon bisa dikonfigurasi dengan cukup bebas.

sistem Master CLS Nikon bisa dikonfigurasi dengan cukup bebas.

Sistem optik flash cukup praktis digunakan tapi memiliki kelemahan dalam jangkauan. Di dalam ruangan, bisa menjangkau kurang lebih 30 meter, sedangkan di luar ruangan sekitar 20 meter. Cukup lumayan untuk sebagian besar fotografer. Tapi yang paling ideal yaitu dengan mengunakan sistem transmisi radio. SN 600SN compatible dengan trigger radio populer seperti Yongnuo 622C.

Saat dilepas dari kamera, Shanny SN 600SN dapat di fungsikan sebagai Slave Nikon, dan basic slave optic S1 dan S2.

shanny-sn600sn-03

shanny-sn600sn-04

Kamera-kamera yang compatible antara lain: NIKON – D3, D810, D800, D800E, D700, D750, D610, D600, D300s, D300, D200, D7100, D7000, D90, D80, D5300, D5200, D5100, D5000, D3000, D3100, D3200 ,D3300, Kamera yang lain perlu diuji lebih lanjut.

Selain model SN 600SN, juga tersedia model SN 600N (Rp 1.350.000). Flash canggih yang paling terjangkau untuk Nikon. Perbedaan utamanya dibandingkan dengan SN600SN adalah, tidak ada fungsi Master flash, dan saat dilepas dari kamera mode slavenya hanya manual, dan pouch/kantong flash tidak tersedia (meskipun ini bisa di beli dengan harga terjangkau (Rp 50.000,-).

Jika membutuhkan flash hanya untuk ditempatkan diatas kamera saja, SN 600N sudah cukup. Tapi jika ingin flash yang bisa Master untuk mengomandoin flash lainnya, atau perlu fungsi auto/i-TTL saat dilepas di kamera, Shanny SN 600SN pilihan yang terbaik saat ini.

Flash ini bisa dipesan melalui 0858 1318 3069 atau melalui www.ranafotovideo.com

Spesifikasi:

Guide Number (GN): 60 (ISO100, 200mm)
Wireless flash: Optical pulse transmission as master and slave
Flash mode: i-TTL, Manual, RPT
Zoom range: Auto, 20-200mm, 14mm (saat mengunakan wide diffuser)
High Sync Speed: sampai dengan 1/8000 detik
Pilihan kekuatan: 1/1 sampai 1/128
Shutter sync: front, rear, high speed sync
Flash exposure compensation: +/- 3, 1/3 step
Remote power : Support
Remote zooming control: Support
Bracket Exposure : Support
Flash exposure lock : Support
Modeling flash : Support
AF-Assist focus : LED focus lamp
Recycle time: kurang lebih 2 detik di full power
Frekuensi flash RPT: 1-100Hz
Jarak efektif wireless optical pulse sekitar 20-30 meter
Radio channel: 1-15
Flash Group: A, B, C
Power supply: 4 AA baterai, alkaline/rechargeable Nimh
External interface: hotshoe, PC sync, external charging dan USB untuk upgrade firmware
Software upgrade: Support
Ukuran: 79.7 X 142.9 X 125.4 mm
Berat: 420 gram

—-

Bingung dengan istilah-istilah flash dan ingin memaksimalkan flash? Ikuti workshop sehari basic flash dengan Shanny.

Rekomendasi kamera mirrorless 2015 bagian 2

$
0
0

Di tahun 2015 ini, kamera mirrorless perlahan-lahan mulai banyak diminati oleh penggemar fotografi yang merasa kamera DSLR terlalu besar dan berat untuk jalan-jalan. Banyak pilihan kamera mirrorless sering membuat pusing kepala. Di pos bagian pertama ini, saya akan mengulas singkat dan memberikan rekomendasi kamera yang menurut saya seimbang dari fitur, harga dan kinerjanya. Merk yang saya akan bahas disini adalah Samsung NX, Nikon 1, Leica T dan Canon EOS M.

Post ini adalah bagian yang kedua. Untuk membaca rekomendasi kamera mirrorless bagian pertama silahkan klik disini.

Harga yang tercantum dapat berubah sewaktu-waktu tergantung kurs dan promosi.

Warna hitam : Ada pilihan yang lebih baik
Warna biru : Saya rekomendasikan untuk fotografer pemula
Warna hijau : Saya rekomendasikan untuk fotografer serius/mahir/pro
Warna merah : Saya rekomendasikan untuk fotografi spesifik/khusus

Daftar kamera Samsung NX, harga dan rekomendasi

Kamera Samsung pada dasarnya terbagi dalam beberapa kategori: pemula yang paling ringkas 4 digit seperti NX3000, menengah 3 digit seperti NX300, NX500, semi pro (2 digit) seperti NX30 dan profesional NX1.

samsung-nx1-telefoto

Samsung NX3000 – Harga Rp 6 juta dengan lensa 16-50mm – Kamera mirrorless pemula Samsung, dirancang supaya ukurannya sekecil mungkin dan harga yang terjangkau. Nonton pembahasan saya dan Erwin Mulyadi di Youtube.
Samsung NX300/M – Harga 7 juta dengan lensa 18-55mm – Layar LCD-nya touchscreen, saat manual fokus ada focus peaking, kinerja / kecepatan kamera lebih cepat. Layar LCD lebih detail, kinerja autofokus lebih cepat (hybrid phase detect di sensor), Merekam video 60p. Shutter speed lebih cepat 1/6000 detik. Kekurangannya baterainya bisa habis sendiri jika tidak dilepas dari kamera.
Samsung NX500 – Harga Rp 10 juta dengan lensa 16-50mm – Kualitas foto sedikit lebih tinggi dan tajam dari NX3000 dan NX300 berkat sensor BSI 28 MP. Bisa merekam video 4K secara langsung.
Samsung NX30 – Harga Rp 11 juta dengan lensa 18-55mm – Bedanya dari kamera diatas adalah NX30 punya jendela bidik elektronik, bentuknya lebih menyerupai kamera DSLR. Kecepatan buka tutup dan shutter lag lebih cepat. Punya flash internal.
Samsung NX1 – Harga Rp 20 juta body saja – Punya jendela bidik elektronik, desainnya seperti kamera DSLR mini. Bisa rekam video 4K seperti NX500. Kecepatan kamera sangat cepat, tahan air, debu, kelembababan, dirancang untuk profesional. Sedikit pembahasan tentang NX1 disini.

—–

Daftar kamera Nikon 1, harga dan rekomendasi

Sistem Nikon 1 mengunakan sensor 1 inci yang kurang lebih dua stop lebih kecil dari kamera DSLR APS-C. Ukuran sensor yang lebih kecil memiliki kerugian yaitu di kualitas gambar, tapi kelebihannya bisa lebih kecil ukuran kamera dan lensa-lensanya.

Salah satu kelebihan lain dari sistem Nikon 1 adalah sistem autofokus hybridnya yang sangat cepat dan kecepatan foto berturut-turutnya melampaui banyak kamera mirrorless pada umumnya. Beberapa kamera Nikon 1 yaitu:

nikon-aw1-freeze

Nikon S1 – Harga: Rp 4.5 juta double kit lens – Yang paling ringkas dan terjangkau. Kecepatan foto berturut-turut 15 foto per detik, resolusi foto 10 MP dengan Wifi.
Nikon J3 – Harga: Rp 3.9 juta – Kamera mirrorless yang simple dengan resolusi 14 MP
Nikon J5 – Harga: Rp 6.75 juta – Peningkatan dari J3 yaitu LCD bisa di-tilt 45 derajat, touchscreen,Wifi, bisa rekam video 4K (meskipun frameratenya terbatas ke 15fps), resolusi 20 MP.
Nikon V2 – Harga Rp 10 juta dengan dua lensa – 14 MP dan punya jendela bidik elektronik
Nikon V3 – Pengembangan dari V2, punya jendela bidik dan resolusi ditingkatkan ke 20 MP
Nikon AW1 – Harga: Rp 9.15 juta dengan zoom kit lens, 10.75 juta dengan zoom dan 10mm fix lens – Satu-satunya kamera mirrorless yang bisa underwater tanpa casing khusus sampai kedalaman 49 kaki. Juga tahan di suhu dingin sampai -14 derajat Celcius. Cocok dengan lensa AW (10mm AW dan 11-27.5mm f/3.5-5.6 AW). Specnya 14 MP, Wifi, kecepatan foto 15 foto per detik

Baca panduan lengkap Nikon 1.

Daftar kamera Canon EOS M, harga dan rekomendasi

Kamera mirrorless Canon sampai saat ini sudah generasi ke-tiga, namun belum terlalu populer dan masih sulit ditemukan di toko-toko karena jumlah lensa yang tersedia sangat terbatas (3 saja). Dengan mengunakan adapter, kita bisa memasang lensa Canon untuk DSLR, tapi jadinya timpang (berat di depan) dan autofokusnya pelan.

Generasi pertama dan kedua autofokusnya relatif lambat, dan bahkan setelah generasi ketiga pun, kinerja autofokusnya masih ketinggalan dari kamera mirrorless merk lain seperti dari Sony, Olympus, Panasonic dan bahkan dari Samsung.

Canon_EOS_M3-white

Canon EOS M 3 – Peningkatan dari generasi sebelumnya yaitu adanya WiFi, opsi untuk memasang jendela bidik elektronik external, control (dial dan tombol) lebih banyak, manual focus peaking, dan sensor gambar baru (APS-C) beresolusi 24 MP, layar bisa di tilt 45 derajat dan touchscreen.

—-

Daftar kamera Leica T, harga dan rekomendasi

Sistem Leica T adalah kamera mirrorless berbasis sensor APS-C buatan Leica yang menganut sistem desain modern minimalis. Tidak banyak tombol di kamera, tapi menu, fungsi kamera dikendalikan dengan layar LCD touchscreen yang cukup besar 3.7 inci.

leica-t

Leica T – Harga sekitar Rp 22 juta body only – Kamera dengan sensor APS-C sebesar 16 MP, built-in memory 16GB, layar LCD 3.7 inch, touchscreen. Kecepatan foto berturut-turut 5 foto berturut-turut. Pernah saya bahas di detikinet.com.

Lensa yang tersedia: 18-56mm, 55-135mm f/3.5-4.5, 23mm f/2, 11-23mm f/3.5-4.5. Rata-rata lensa Rp 20 jutaan per lensa.

Body bisa dipasang adaptor untuk memasang lensa Leica M-mount.

—–

Opini:

Dari pilihan-pilihan sistem kamera mirrorless diatas, terlihat bahwa yang paling lengkap untuk bersaing dengan sistem DSLR adalah penawaran dari Samsung NX. Kini sistem Samsung NX sering disejajarkan dengan merk mirrorless lainnya seperti Sony, dan Fujifilm. (Baca rekomendasi kamera mirrorless bagian 1).Sedangkan untuk Canon, Nikon dan Leica, sepertinya masih kurang lengkap dari line up kamera dan pilihan lensanya.

Beberapa kamera yang menarik bagi saya salah satunya adalah Nikon 1 AW1 yang bisa dimasukkan ke air sampai 49 kaki (1.5meter) dan tahan cuaca dingin sampai -14 C. Kamera yang juga menarik yaitu Samsung NX1 yang tingkatnya profesional dan dari spesifikasi diatas sebagian besar kamera DSLR. Untuk Leica T, sebenarnya konsep modern-minimalist-nya menarik, tapi sayangnya kamera dan lensa ini dijual dengan harga yang tinggi, sehingga hanya bisa dinikmati sebagian kecil kalangan saja.

—-

Baru beli kamera? Ikuti workshop kupas tuntas kamera & lensa 

Bingung memilih kamera, lensa yang pas? Buku Smart Guide ini akan membantu.

Perbedaan Fujifilm X-T1 dan Fujifilm X-T10

$
0
0

Fujifilm meluncurkan kamera baru Fujifilm X-T10 yang diposisikan dibawah Fujifilm X-T1. Dari spesifikasinya, saya melihat banyak kemiripan, antara lain bentuk desainnya seperti kamera DSLR jaman film, masih dengan sensor 16 MP X-Trans sensor, autofocus hybrid (Phase & Contrast detect).

fuji-xt1-fuji-xt10

Selanjutnya saya akan mengulas secara singkat kelebihan kelemahan kedua kamera. Kelebihan Fujifilm X-T10 adalah lebih kecil ukurannya, sedikit lebih ringan (440 gram vs 381 gram), dan jauh lebih murah ($1150 vs $800). X-T10 memiliki built-in flash yang cukup praktis untuk kondisi yang sangat gelap atau backlight.

fuji-xt1-fuji-xt10-back

Kelebihan Fujifilm X-T1 adalah punya buffer (penampungan data sementara) yang jauh lebih lapang. Dengan X-T1, kita bisa memotret berturut-turut sampai maksimum 47 foto JPG sebelum memory penuh, sedangkan X-T10 maksimumnya hanya 8 foto saja. Bagi yang sering traveling ke tempat yang cuacanya ekstrim, Fujifilm X-T1 bisa tahan sampai -10 Celcius, sedangkan X-T10 hanya sampai 0 Celcius. Yang juga cukup signifikan adalah ukuran jendela bidik X-T1 yang lebih besar (magnifikasi 0.77 vs 0.62). Dari fisiknya, Fujifilm X-T1 terlihat lebih kokoh dengan pegangan yang sedikit lebih dalam, dan juga tersedia roda diatas kamera untuk mengganti ISO. Lensa yang dipaketkan dengan X-T1 juga lebih menarik dan berkualitas (18-55mm f/2.8-4, dan 18-135mm f/3.5-5.6, dibandingkan dengan 16-50mm f/3.5-5.6).

fuji-xt1-fuji-xt10-top

Kualitas kamera Fujifilm X-T1 memang lebih baik, terutama kalau Anda suka motret subjek bergerak/berturut-turut dan traveling ke tempat yang cuacanya ekstrim. Tapi semuanya tergantung budget. Karena spesifikasi terpenting yaitu kualitas gambar dan kinerja autofokusnya mirip, maka X-T10 merupakan pilihan yang “value” karena selisih harganya cukup besar yaitu $350 (Rp 4.6 juta).

—-

Baru beli kamera? Ikuti workshop kupas tuntas kamera & lensa 

Bingung memilih kamera, lensa yang pas? Buku Smart Guide ini akan membantu.

Shooting report: Sony FE 28mm f/2 di Sony A7 mk II

$
0
0

Beberapa waktu yang lalu, saya pernah mereview secara singkat Sony FE 28mm f/2 dengan body Sony A7s. Kali ini, saya ingin berbagi pengalaman saya saat tour ke Kamboja beberapa waktu yang lalu dengan lensa ini, tapi dengan kamera yang beresolusi lebih tinggi yaitu Sony A7 mk II.

sony-fe-28mm-f2

Seperti yang saya bahas sebelumnya, lensa Sony 28mm f/2 memiliki kelebihan di fisiknya yang berukuran ringkas (6.4 cm) dan ringan (200 gram), kontruksinya padat, dari logam. Autofokusnya cepat dan akurat. Ketajaman foto sangat baik di bagian tengah foto, sedangkan yang sisi-sisi foto lebih soft, dan ada distorsi (cembung) yang cukup lumayan dan sebagian besar harus diperbaiki melalui software, kecuali saat memotret dengan image quality JPG, maka otomatis distorsi dibetulkan di dalam kamera.

Terlepas dari kekurangan lensa ini, saya senang mengunakannya, mungkin karena memang saya menyukai sudut pandang 28mm yang cukup lebar dan masih terlihat alami karena distorsi perspektifnya tidak terlalu berlebihan.

Berikut beberapa foto dengan lensa 28mm f/2 :

* foto-foto bisa di klik untuk tampilan lebih besar

Angkor Wat sunrise, foto wajib kalau berkunjung ke Kamboja.

Angkor Wat sunrise, foto wajib kalau berkunjung ke Kamboja. ISO 100, 30 detik, f/5.6

Salah satu jalan masuk ke Bayon. Di hari pertama, cuaca hujan, kita balik lagi hari kedua dan ternyata cahayanya jauh lebih bagus dan langitnya biru.

Salah satu jalan masuk ke Bayon. Di hari pertama, cuaca hujan, kita balik lagi hari kedua dan ternyata cahayanya jauh lebih bagus dan langitnya biru. ISO 100, f/7.1, 1/125 detik

Dua Bhiksu kecil berjalan meninggalkan salah satu menara di Banteay Chhmar. ISO 100, f/5.6, 1/320 detik

Dua Bhiksu kecil berjalan meninggalkan salah satu menara di Banteay Chhmar dibawah cahaya matahari di siang hari yang keras. ISO 100, f/5.6, 1/320 detik

Pagi hari di candi Bakong, ISO 100, f/4.5, 1/60 detik

Pagi hari di candi Bakong, ISO 100, f/4.5, 1/60 detik

Lensa ini merupakan salah satu lensa Sony FE yang relatif terjangkau, yaitu Rp 5.990.000, jauh dibawa lensa Sony FE lainnya yang rata-rata 10 juta keatas. Lensa ini dapat juga dipasang di kamera Sony NEX/Sony APS-C seperti A5000, A5100, dan A6000. Bedanya sudut pandangnya menjadi lebih sempit karena efek crop 1.5X (setara dengan 42mm / lensa normal).

—–

Jika berminat memesan lensa atau kamera Sony, saya bisa bantu melalui ranafotovideo.com atau hubungi 0858 1318 3069 secara langsung.

Kamera canggih dengan lensa fix 28mm : Leica Q vs Ricoh GR II

$
0
0

Dalam bulan Juni 2015 ini, saya mencatat ada dua kamera canggih dengan lensa fix (tidak bisa diganti dan tidak bisa zoom) 28mm. Yang pertama adalah kamera Leica Q, yang konsepnya seperti kamera rangefinder Leica M yang terkenal, tapi diperbaharui dengan berbagai teknologi terbaru. Lalu ada juga Ricoh GR II, yang filosofinya membuat kamera compact tapi dengan kualitas gambar yang terbaik dan praktis.leica-q

Mari kita kupas satu-satu. Leica Q adalah kamera dengan sensor full frame 24 MP dan lensa Leica 28mm f/1.7. Leica Q ini seperti perpaduan old and new. Sekilas dari fisiknya, terlihat seperti kamera rangefinder kuno, tapi setelah ditelisik lebih jauh, ada beberapa hal modern yang ditambahkan Leica, misalnya Jendela bidik optik rangefinder kini sudah digantikan dengan jendela bidik elektronik. Kelebihan lainnya yaitu lensanya bisa autofokus dan menurut review kinerjanya cukup cepat.

Meskipun sudah diperbaharui dengan teknologi canggih, Leica Q masih mempertahankan nilai-nilai lama yang membuat pengguna Leica setia, yaitu adanya aperture ring di lensa untuk mengubah bukaan, dan shutter dial di atas kamera. Lensa kamera ini juga memiliki marking (tanda) jarak fokus dan hyperfocal sehingga memudahkan fotografer untuk manual fokus. Dengan sensor full frame dan lensa berkualitas, ukuran kamera tentunya jadi cukup besar dan berat (640 gram) meski masih lebih ringkas dari kamera DSLR full frame dengan lensa 28mm. Harga yang tinggi yaitu $4250 (Rp 56 juta) juga akan membatasi pengguna kamera ini.

Di lain pihak, Ricoh juga memperbaharui kamera digital compactnya yang sudah masuk generasi ke-6. Ricoh secara rutin memperbaharui kamera seri GR ini setiap dua tahun sekali. Kamera Ricoh GR II memiliki sensor APS-C 16 MP, dengan lensa 28mm f/2.8. Filosofi Ricoh GR adalah membuat kamera digital compact yang bisa dikantongin dengan teknologi yang canggih.

ricoh-gr-II

Kelebihan Ricoh GR II dibandingkan dengan pendahulunya adalah Wifi yang bukan hanya untuk transfer/sharing file foto, tapi juga bisa untuk mengendalikan kamera secara penuh dari berbagai jenis smartphone, tablet atau komputer dengan berbagai jenis sistem operasi. Yang bisa dikendalikan bukan hanya fitur basic, tapi hampir semua menu kamera (Demonya bisa dilihat disini). Selain itu, ada peningkatan kinerja autofokus (0.2 detik) berkat pembaharuan motor lensa dan algoritma fokus. Kecepatan buka tutup kamera juga lebih baik yaitu 1 detik.  Efisiensi kamera juga sedikit meningkat sehingga satu baterai bisa untuk memotret sekitar 320 foto. Harga kamera Ricoh GR II ini $800 (Rp 11 juta), dan beratnya 251 gram saja.

Disini kita melihat Leica Q dan Ricoh GR memang bukan kamera yang dibuat untuk bersaing satu sama lain, karena ada hal-hal mendasar yang berbeda, yaitu ukuran dan harga. Bagi fotografer perfeksionis dan tidak masalah dengan ukuran atau harga, Leica Q akan memberikan hasil yang terbaik, tapi bagi yang ingin kamera pocket yang praktis dengan kualitas yang setara dengan kamera DSLR bersensor APS-C, Ricoh GR II merupakan pilihan yang lebih baik. Sebelum membeli, pastikan Anda menyukai sudut pandang lensa lebar 28mm, yang kurang lebih seperti sebagian besar kamera ponsel.

—-

Periksa jadwal belajar fotografi dan acara Infofotografi di halaman ini.

Buku Smartguide: Panduan membeli kamera dan lensa masih tersedia.

 

Kesan saya terhadap sistem kamera Phase One XF

$
0
0

Pada hari Jum’at tanggal 19 Juni 2015 yang lalu, saya diundang untuk mengikuti acara launching sistem kamera medium format baru, yaitu Phase One XF di hotel Fairmont, Senayan, Jakarta.

Sekilas info, kamera medium format adalah kamera dengan sistem SLR tapi sensor gambarnya berukuran 2.5 kali lebih besar daripada sensor kamera DSLR full frame, oleh sebab itu, kamera ini bisa mengakomodir resolusi foto yang lebih tinggi (50, 60 dan 80 Megapixel).

image-sensor-sizeDalam acara launching sistem ini, bukan hanya body kamera baru yang diperkenalkan ke tamu yang kurang lebih berjumlah 50 orang, tapi juga Digital Back baru (IQ3), dua lensa baru (Schneider Kreuznach 35mm dan 120mm macro), dan software baru yaitu Capture One versi 8.3. Dibandingkan dengan sistem terdahulu, sistem Phase One ini lebih canggih, lebih modular, dan terintegrasi dengan softwarenya.

Ada beberapa peningkatan dari sistem terdahulu yaitu:

1. Desain dan antarmuka

Desain body kamera Phase One XF ini jauh berbeda dengan yang seri kamera sebelumnya. XF ini bentuknya lebih angular (kotak) dengan LCD bagian atas yang beresolusi tinggi dan berwarna. Warna disini berperan untuk membedakan antara nilai yang otomatis dan nilai yang diset manual. Layar LCD di bagian atas kamera juga bisa disentuh.

Selain itu, kendali bisa dilakukan juga dengan tiga dial dan beberapa tombol semuanya bisa dikustomisasi sesuai kebiasaan fotografernya. Dari tiga dial tersebut, kita bisa mengubah ISO, shutter speed dan aperture lensa.

Desain Pegangan/grip nya saya rasakan cukup nyaman untuk dipegang karena cukup dalam dan peletakkannya di bagian tengah sistem sehingga terasa seimbang meskipun berat total sistem ini lumayan juga yaitu sekitar 2-4 kg (total berat tergantung lensa yang terpasang).

phase-one-xf-35mm

2. Desain Modular

Desain sistem kamera medium format dari dulu memang sudah bersifat modular. Artinya ada tiga bagian yang bisa ditukar sesuai kebutuhan yaitu

  • Digital Back yang terdiri dari layar LCD, dan image sensor (yang menentukan resolusi gambar),
  • Body kamera yang berisi mirror box/cermin, pegangan, tombol, shutter, layar LCD bagian atas.
  • Lensa (Tersedia dua jenis lensa: leaf dan focal plane shutter)

Di sistem Kamera XF ini, jendela bidiknya juga bisa diganti. Ada dua jenis viewfinder yang tersedia, yaitu viewfinder prisma 90 derajat, dan waist level finder seperti kamera medium format film.

phase-one-waist-level-viewfinder-2

 

3. Sistem Autofokus

Berbeda dengan sistem autofokus yang kita kenal yaitu sistem deteksi kontras, deteksi fasa (phase detect) yang biasanya terdapat di kamera DSLR dan mirrorless, sistem autofokus sistem Phase ONE XF ini berbeda. Dinamakan Honeybee (tapi tidak ada kaitan langsung dengan lebah, tapi hanya karena desainernya mempelihara lebah di pekarangannya), Sistem AF ini mengandalkan processor khusus untuk mendeteksi fokus.

Menurut penuturan perwakilan Phase One, Jesper dari Denmark, sistem ini bisa mengenali warna dan dapat ditingkatkan kinerjanya dengan firmware update di masa depan. Saat ini ada tiga mode autofokus yang bisa dipilih yaitu spot (tengah), average, dan hyperfocal. Kedepannya, kabarnya bisa ditambahkan jika dibutuhkan fotografer. Sistem autofokus dibantu juga dengan Autofocus Assist lamp yang berwarna putih yang cukup terang dan berbentuk pola seperti zebra supaya dapat memotret di permukaan yang kontrasnya rendah.

Setelah mencoba mengunakan kamera di acara ini, saya mendapati autofokusnya cukup cepat dan lampu AF assistnya juga bagus. Bagi saya, mode autofokus hyperfocal sangat menarik, karena berguna untuk foto landscape, terlebih karena kamera medium format ruang tajamnya sangat tipis.

4.Hal-hal inovatif lainnya

  • Seismograph yang dapat mendeteksi getaran kamera : Sangat berguna untuk fotografer landscape untuk mengetahui apakah kamera sudah stabil atau belum.
  • Sebagian besar setting kamera bisa diatur dari software Capture One 8.3 via komputer, ipad, iphone (capture pilot).
  • Trigger flash studio Profoto built-in.
  • Shutter speed maksimum 60 menit dengan noise yang minimum (dengan Digital Back IQ3).
  • Exposure Zone system dengan pewarnaan yang berbeda untuk masing-masing zona
  • Highlight warning dua tahap, menandakan daerah foto yang bisa di-recover, dan yang tidak.
  • Long exposure calculator – Mencegah kesalahan perhitungan saat memotret long exposure (shutter speed lebih dari 1 detik).
  • Sensor temperature chart : Semakin tinggi suhu sensor, semakin banyak noisenya.

seismograph

Dalam perkembangan kamera digital yang cepat dalam 5 tahun terakhir ini, dimana hampir setiap tahun diluncurkan kamera digital baru yang membuat kamera digital yang diluncurkan setahun yang lalu menjadi ketinggalan zaman, saya pikir Phase One telah mengambil langkah yang cukup bijak untuk membuat sistem baru XF ini sebagai platform yang modular dan programmable sehingga bisa dikembangkan lagi di masa depan.

Dengan demikian, setidaknya peluncuran sistem Phase One XF ini dapat membuat fotografer merasa lebih yakin dan tenang terhadap investasinya ke sistem yang tidak sedikit ini, bisa bermanfaat untuk jangka waktu yang lebih panjang.

Foto ini akan memberikan gambaran seberapa besar sistem kamera Phase One XF ini. Terpasang adalah lensa Schneider Kreuznach 80mm f/2.8 dan IQ3 50MP.

Foto ini akan memberikan gambaran seberapa besar sistem kamera Phase One XF ini. Terpasang adalah lensa Schneider Kreuznach 80mm f/2.8 dan IQ3 50MP.

phase-one-xf-system

Spesifikasi Phase One XF

  • Pilihan digital back: IQ3 50, 60, 80 MP & IQ2 60MP & IQ1 40-80 MP
  • Layar LCD touchscreen
  • Live View shooting
  • Tiga roda kendali, dua tombol shutter, empat tombol tambahan
  • Autofocus sensor : HAP-1 1Megapixel CMOS Sensor
  • Viewfinder: Prism: 97% coverage
  • Viewfinder waist level: 97% coverage with metering
  • Kecepatan foto berturut-turut: 1-2 foto per detik tergantung digital back
  • Exposure compensation: -5 sampai +5
  • Berat: Body camera dan IQ3 = 1.39 kg dengan jendela bidik prisma, 1.02 kg dengan waist level finder.
  • Baterai: Dua buah 3400 mAH, masing-masing untuk body dan digital back.
  • Shutter reliability test : 350.000 kali
  • Max. flash sync speed : Dengan lensa focal plane shutter 1/125 detik, dengan lensa leaf shutter 1/16oo detik.
  • Wireless trigger (profoto) : 20 meter (di luar ruangan). Di dalam ruangan bisa lebih

Harga kamera dan lensa (desain Denmark, made in Japan (Mamiya Factory)).

  • XF IQ3 80MP: $48,990.00
  • XF IQ3 60MP: $41,990.00
  • XF IQ3 50MP: $40,990.00

Lensa (desain Jerman)

  • Schneider Kreuznach 35mm f/3.5 : $6490
  • Schneider Kreuznach 120mm f/4 Macro : $6490

Sample foto Canon 5DS R

$
0
0

Beberapa hari yang lalu, saya menerima foto sample dari kamera Canon 5DS R (Rp 58 juta) dari teman saya Gregorius Hendra (Rio). Saat tour Kamboja Juni awal yang lalu, Rio mengatakan dia sudah memesan kamera ini dan alasan utamanya karena dia menyukai foto pemandangan sehingga menyukai kamera dengan resolusi tinggi (50 MP) dan juga terkesan dengan processor DUAL DIGIC 6 yang siap memproses data foto dengan cepat.

Dari pengamatan saya, hasil foto Canon 5DS R kiriman Rio cukup detail saat di zoom 100%, ketajaman yang maksimal bisa didapatkan saat melihat gambar dengan perbesaran 50%.

_Z4A1015-2

Data teknis: ISO 100, f/11, 25 detik

_Z4A1015-4

Zoom 100% dari gambar diatasBerapa besar sebenarnya 50 MP? Cukup besar! Coba perhatikan ilustrasi dibawah:

_Z4A1014-2

Data teknis: ISO 1250, f/8, 0.8 detik

_Z4A1014-3

Zoom 100% dari foto diatas

_Z4A1014-4

Zoom 100% dari foto diatas

_Z4A1010-2

 

Data teknis: ISO 100, f/11, 3.2 detik

Crop 100% dari foto diatas

Crop 100% dari foto diatas

resolution-comparison

Punya kamera 12 MP? Untuk mendapatkan resolusi 50MP, Anda perlu memotret 4 foto kemudian menggabungkannya menjadi satu, itupun masih kurang 2 MP.

12-50-mp-resolution

Lantas, apa kekurangannya? Menurut pengamatan saya terhadap hasil foto diatas, detail di bagian yang gelap tidak sebagus detail di bagian yang terang (dynamic range yang terbatas), juga di ISO yang agak tinggi seperti ISO 1250, mulai kelihatan efek processing yang menghaluskan dan menghilangkan detail foto.

Meskipun demikian, salut untuk Canon yang berani mengeluarkan kamera dengan sensor 50 MP, saat ini belum ada kamera bersensor full frame yang menyaingi.  Untuk memaksimalkan hasil foto semacam ini, dibutuhkan lensa beresolusi tinggi seperti lensa zoom 24-70mm f/2.8 II yang digunakan Rio untuk foto diatas, dan teknik foto yang disiplin.

Jika ingin tahu lebih detail tentang kamera ini bacalah : Canon 5DS dan 5DS R pecahkan rekor

Foto-foto oleh Gregorius Hendra

Ilustrasi perbedaan resolusi dari photographylife.com

 

Kamera Sony A6000 vs Samsung NX500

$
0
0

Calon pembeli kamera mirrorless dengan budget dibawah 10 juta rupiah, biasanya agak bingung untuk menentukan membeli kamera mirrorless type dan merk apa. Saat ini, yang cukup populer adalah kamera Sony A6000 dan Samsung NX500.

Sony A6000 vs Samsung NX500

Samsung NX500, yang di luncurkan Februari 2015, setahun lebih baru dari Sony A6000 dan dimuat dengan teknologi yang lebih baru, misalnya mampu merekam video 4K, punya LCD touchscreen yang bisa dilipat ke atas untuk selfie (Tahun 2014-2015 ini selfie booming he he he). Sensor NX500 juga lebih baru (28 MP Back side Illuminated sensor) tanpa filter AA untuk hasil yang lebih tajam.

samsung-nx500-selfie

Sony A6000 biasanya dijual dengan harga kurang lebih satu juta lebih murah daripada NX500, juga punya beberapa kelebihan. Salah satu yang paling menonjol adalah adanya jendela bidik elektronik yang akan sangat membantu untuk memotret di kondisi cahaya yang sangat terang seperti di luar ruangan saat cahaya matahari membuat layar LCD menjadi sulit dilihat.

sony-a6000-back-silver

Selain itu, Sony A6000 memiliki built-in flash, sehingga kita tidak perlu repot-repot atau takut kelupaan untuk membawa flash eksternal. Yang suka foto subjek bergerak/sport, Sony A6000 menawarkan buffer yang lebih lapang sehingga kita bisa memotret berturut-turut lebih lama sebelum kamera berhenti dan menulis data ke memory card. Soal ekosistem, lensa-lensa yang bisa dipasangkan ke kamera Sony lebih banyak pilihan dan variasi.

Lalu yang mana yang terbaik? Lagi-lagi tergantung fitur apa yang lebih diprioritaskan. Bagi sebagian penghobi fotografi, Samsung NX500 enak di user experiencenya, karena adanya layar sentuh dan selfie. Di lain pihak, bagi fotografer yang sering motret outdoor, action photography dan membutuhkan banyak akses ke lensa berkualitas tinggi/pro, Sony A6000 lebih cocok karena punya jendela bidik dan e-mountnya sangat fleksibel untuk mix and match (bisa memasang lensa-lensa sistem kamera lain dengan adaptor).

Semoga ulasan singkat ini bisa membantu yang lagi mencari kamera idaman untuk mengantisipasi liburan lebaran 2015 yang sudah didepan kita.

Liputan acara peluncuran kamera Leica Q di Jakarta

$
0
0

Hari selasa, tanggal 30 Juni 2015 yang lalu,  tim infofotografi (saya dan Enche Tjin) menghadiri acara peluncuran kamera Leica Q sambil berbuka puasa bersama awak media yang bertempat di Prohibition Resto, Plaza Senayan Arcadia, Jakarta. Undangan kali ini termasuk spesial karena selain produk yang diluncurkan adalah kamera premium dengan bandrol harga $4250 (Rp 69 juta – harga Indonesia), juga karena kamera Leica Q ini banyak membuat kami penasaran dengan kombinasi desain klasik dan teknologi modernnya.

Leica Q

Masih mengusung desain yang sama dengan kamera Leica lainnya, Leica Q sebagai advanced compact camera bergaya rangefinder punya bodi berbalut logam (magnesium alloy) yang terasa mantap saat dipakai. Produsen lensa ternama dari Jerman ini merancang dengan seksama lensa untuk Leica Q yaitu Summilux 28mm f/1.7 yang memiliki 11 elemen (termasuk 3 lensa asperikal) dan tersusun atas 9 grup. Teknologi modern di Leica Q tidak tanggung-tanggung, sederet fitur seperti sensor CMOS full frame 24 MP, jendela bidik elektronik 3,68 juta titik, layar sentuh 3 inci dan auto fokus (umumnya kamera Leica lainnya hanya ada manual fokus), dan ada WiFi juga.

Awak media mencoba Leica Q

Awak media mencoba Leica Q

Spesifikasi utama dari Leica Q (type 116) :

  • sensor :CMOS full frame 24 x 36mm, 24 MP (6000×4000 piksel)
  • lensa : Summilux 28mm f/1.7, 11 lensa dalam 9 grup, 3 asperikal, makro
  • shoot kontinu : 10 frame per detik
  • file format : 14 bit DNG (RAW), JPG, MP4 (full HD 1080p)
  • ISO : ISO 100-50.000
  • sistem fokus : auto fokus (contrast detect), manual focus (dengan peaking)
  • metering : Multi-field, center weight, spot
  • shutter : mekanik (sampai 1/2000 detik), elektronik (1/2500-1/16000 detik), flash sync 1/500 detik
  • jendela bidik elektronik : LCOS display, 1280×960 piksel (3.68 juta titik)
  • baterai : Lithium ion 1200 mAh 7.2 V
Enche Tjin berdialog dengan Mr Sunil Kaul

Enche Tjin berdialog dengan Mr. Sunil Kaul, managing director Leica Camera Asia

Dalam acara kemarin, kami berkesempatan mencoba untuk memakai Leica Q beberapa saat untuk membuktikan sendiri betapa mantapnya kamera ini. Bodinya yang berbahan logam terasa dingin dan kokoh saat dipegang, dan ternyata bobotnya yang sekitar 640 gram masih terasa pas untuk dipegang (kira-kira setara dengan kebanyakan kamera DSLR pemula-menengah). Tampilan jendela bidik elektronik terlihat jernih dan detail. Karena jendela bidik ini mendapat gambar dari sensor, maka apa yang ditampilkan persis sama dengan apa yang didapat (berbeda dengan jendela bidik optik ala rangefinder lain yang ada sedikit pergeseran paralax). Saya yang terbiasa melihat jendela bidik di kamera mirrorless justru lebih terbiasa dengan jendela bidik di Leica Q, tapi mungkin pemakai Leica yang biasa pakai Leica sebelumnya akan merasa agak aneh dengan jendela bidik elektronik seperti ini.

Leica Q

Suasana tempat peluncuran kamera di Prohibition Resto ini termasuk sangat low light, dan ini menantang untuk siapapun yang memotret karena perlu ISO tinggi. Untungnya dengan sensor full frame, Leica Q masih bisa menjaga noise tetap rendah di ISO 3200, dan hasilnya masih cukup bersih. Di tempat yang kurang cahaya inipun auto fokus kamera Leica Q masih bisa bekerja dengan baik. Tapi bagi yang ingin memakai manual fokus, kamera ini tetap menyediakan indikator jarak fokus di lensanya, termasuk indikator terpisah untuk yang mau fokus sangat dekat (makro).

Sunil Kaul Mr

Mr. Sunil Kaul

Acara dilanjutkan dengan sambutan dari Mr. Sunil Kaul, Managing Director Leica Asia Pacific, yang kemudian dilanjut dengan penjelasan produk oleh Bpk Wilson Gunawan (Leica store Indonesia). Di acara puncak, pihak penyelenggara menghadirkan beberapa pembicara yaitu Romi Perbawa (Ambasador Leica Indonesia) dan Yongki Lie. Para pembicara menampilkan foto-foto yang diambil dengan Leica Q beserta kesan-kesannya dengan kamera tersebut.

Bpk Wilson Gunawan

Bpk Yongki Lie, mewakili fotografer amatir

Pada intinya kedua pembicara menyukai banyak hal dari Leica Q seperti fokal lensanya yang 28mm, kecepatan/responsifnya shutter kamera untuk menangkap momen dan kemudahan dalam memotret memakai fitur WiFi dari ponsel. Romi yang khususnya sudah membawa Leica Q ke lokasi yang sulit dan gelap seperti memotret aktivitas Ramadhan di Pesantren Lirboyo, merasa sangat terbantu dengan kemampuan kamera ini. Saat memotret malam hari pada waktu tarawih dan sahur yang gelap dan hanya mengandalkan lampu jalan, Romi masih menyukai akurasi fotonya meski ISO disetel sampai 6.400.

Romi Perbawa (kanan) memaparkan hasil fotonya

Romi Perbawa, fotografer profesional jurnalistik (kanan) memaparkan hasil fotonya

Tampaknya kamera Leica Q akan bisa meladeni hasrat fotografer yang menyukai street fotografi, arsitektur dan pemandangan berkat kombinasi sensor, fokal lensa, kualitas optik khas Leica dan kemudahan pemakaian kamera yang didukung fitur-fitur modern. Anda tertarik?

Contoh-contoh karya foto Romi Perbawa :

Contoh karya foto Romi Perbawa

Shutter yang responsif membantu mengambil momen yang tepat, walau dalam keadaan kurang cahaya

Membekukan momen dengan bukaan f/1.7 siang hari tidak masalah, karena shutter kamera ini sangat cepat hingga 1/16000

Membekukan momen dengan bukaan f/1.7 siang hari tidak masalah, karena shutter kamera ini sangat cepat hingga 1/16000

Sony A6000 atau Canon EOS 760D?

$
0
0

Sejak diumumkannya Canon EOS 760D, persaingan kamera di segmen bawah 10 juta semakin meriah. Canon 760D (dan saudaranya, 750D) memang banyak membuat pihak penasaran karena peningkatan di sensornya (kini jadi 24 MP, setara dengan Nikon atau Sony), auto fokusnya (pakai modul AF yang sama di 7D dan 70D) dan khusus 760D kini ada dua roda kendali dan LCD tambahan di atas. Canon 760D pernah saya ulas dan dibandingkan dengan Nikon D5500 karena keduanya cukup setara. Kali ini saya penasaran membahas bagaimana 760D bila dibandingkan dengan kamera mirrorless populer, Sony A6000? Memang di waktu lalu saya juga pernah ulas A6000 vs 700D, tapi kali ini bakal lebih seru karena A6000 dan 760D punya kesamaan mendasar, apakah itu?

760D vs A6000

Kesamaan antara Sony A6000 dan EOS 760D ada di hitungan jumlah piksel sensor, yaitu sama-sama APS-C CMOS 24 MP. Secara teori diatas kertas keduanya akan memberikan hasil foto yang sama baiknya, sama detailnya dan kinerja ISO tinggi yang juga setara. Sebagai sesama kamera modern, keduanya juga sudah dibekali konektivitas WiFi dan NFC. Tapi pada dasarnya kedua kamera ini punya beberapa perbedaan mendasar, dimana Canon mewakili kubu DSLR dan Sony mengusung konsep mirrorless. Uniknya, tidak ada keunggulan mutlak dari masing-masing kubu. Misal DSLR biasanya unggul di kecepatan auto fokus dan ada jendela bidik, tapi A6000 juga auto fokusnya cepat (berkat hybrid AF) dan jendela bidiknya juga bagus (walaupun elektronik). Di lain pihak, mirrorless menawarkan kepraktisan, misalnya auto fokus yang mudah dengan live view – beberapa mirrorless bisa memilih titik fokus dengan menyentuh layar (walau di A6000 tidak bisa), ternyata di 760D juga bisa sentuh layar untuk memilih area yang ingin difokus (walau untuk itu harus masuk dulu ke mode live-view, dan lebih asyik lagi pakai lensa jenis STM).

760D vs A6000b

Pilihan A6000 atau 760D pada dasarnya adalah dilema klasik pilih DSLR atau mirrorless. Jawabannya dikembalikan pada preferensi kita, suka kamera yang agak besar, dalam hal ini biasanya pilihannya adalah kamera DSLR, atau kamera yang lebih kecil seperti kamera mirrorless (walau beberapa kamera mirrorless juga ada yang sama besarnya dengan DSLR). Soalnya kalau bicara spesifikasi dan kualitas foto, juga ergonomi dan kendali (tombol, roda dsb) pada dasarnya keduanya sama baiknya.

Beberapa alasan kenapa orang lebih memilih Canon 760D :

  • suka akan jendela bidik optik
  • LCD tambahan di atas dianggap penting
  • perlu dukungan banyak lensa Canon / pihak ketiga
  • suka fitur wireless flash
  • suka layar sentuh

Sebaliknya, mereka yang lebih memilih Sony A6000 bisa jadi karena :

  • perlu kamera yang lebih kecil namun fiturnya lengkap
  • butuh kinerja lebih cepat (11 fps foto kontinu, 760D ‘cuma’ 5 fps)
  • butuh titik AF yang banyak dan merata
  • tidak suka adanya mekanisme cermin di dalam kamera
  • suka kamera berbahan logam (tampak lebih elegan dan kokoh)

Saya pribadi memfavoritkan keduanya, tanpa ragu saya bisa rekomendasikan keduanya untuk dibeli oleh pemula maupun penghobi fotografi.

Tapi kritik saya kepada keduanya juga ada :

Kekurangan Canon 760D :

  • tidak ada ISO step 1/3 stop, jadi setelah ISO 1600 langsung loncat ke ISO 3200
  • tidak ada Kelvin WB
  • tidak ada mode HDR (hanya ada HDR backlight di Scene mode)
  • tidak ada AF fine tune

Kekurangan Sony A6000 :

  • lensa kit generasi lama, kualitas biasa saja
  • tidak bisa wireless flash
  • tidak ada layar sentuh
  • baterai cepat habis (walau masih wajar untuk ukuran mirrorless)

Nah lho, makin bingung kan jadinya, hehehe…

—-

Belajar memaksimalkan kamera digital dengan kamera mirrorless / SLR dengan mempelajari fitur, setting, autofocus dan sebagainya di acara kupas tuntas kamera digital.

Nikon P900 : Kamera prosumer dengan zoom DASHYAT!

$
0
0

Kamera Nikon P900 ini tergolong kamera prosumer atau disebut juga superzoom karena kemampuannya untuk zoom yang sangat jauh. Kamera ini bentuknya seperti kamera DSLR, tapi bedanya lensa kamera ini tidak bisa diganti-ganti seperti kamera DSLR. Perbedaan lainnya yaitu kamera ini memiliki ukuran image sensor yang relatif kecil, yaitu 1/2.3 inci, setara dengan sebagian besar kamera compact yang harganya dibawah 3 juta atau sebagian smartphone high-end.

nikon-p900

Maka itu kualitas gambarnya masih tidak sebaik kamera DSLR/mirrorless, tapi diatas kamera saku dan smartphone pada umumnya karena kualitas lensanya dilengkapi dengan elemen ED (extra dispersion) dan arsitektur image sensor-nya mengunakan teknologi BSI (back-lit sensor image) sehingga kualitas gambarnya sedikit lebih baik di kondisi cahaya yang gelap.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kamera semacam ini buat apa? Fotografer yang baik akan mengoptimalkan kekuatan kamera ini, yaitu di lensa zoomnya yang mampu men-zoom luar biasa jauh. Fotografer bisa memanfaatkan lensa zoom yang ekuivalennya sampai 2000mm untuk foto candid, foto detail arsitektur kota, foto benda langit yang jauh seperti matahari dan bulan, dan satwa liar.

nikon-p900-front

Kelemahan utama kamera ini adalah kinerja/kecepatannya, misalnya perlu lima detik untuk zoom dari sudut pandang besar 24mm sampai 2000mm, dan ada jeda shutter (shutter lag) sehingga tidak begitu cocok untuk foto aksi yang sangat cepat, kecuali fotografer mengantisipasi dengan baik dan mengunakan fungsi foto berturut-turut (continuous shooting).

Kelemahan lainnya yaitu saat di zoom ke jarak fokus ekuivalen 1500-2000mm, kualitas gambar akan menurun (kurang kontras dan tajam). Selain itu, karena image sensor yang kecil, detail foto tidak sebaik gambar tangkapan kamera DSLR/mirrorless yang sensornya lebih besar. Di ISO 400, banyak detail yang hilang atau noise sudah terlihat cukup banyak saat di perhatikan dengan seksama (zoom 100%).

Ada juga kelemahan di mekanisme shutter speed saat mengunakan ISO tinggi. Di ISO 100, pilihan shutter speed mencapai 15 detik, tapi di ISO 200 menjadi 8 detik, ISO 400 menjadi 4 detik dan di ISO 3200 dan 6400 hanya 1/2 detik. Sehingga menyulitkan saat ingin memotret di kondisi cahaya gelap seperti night photography kecuali kondisi lingkungan cukup terang. Misalnya banyak lampu-lampu jalan atau gedung.

Kesimpulannya, kamera ini cukup menggegerkan dunia kamera prosumer karena sampai saat ini belum ada kamera yang memiliki zoom sepanjang ini (saingan terdekat 1365mm) Tapi kamera ini tentunya bukan kamera yang fleksibel untuk setiap suasana/kondisi pencahayaan, karena image sensor yang digunakan cukup kecil dan juga kinerjanya tidak secepat yang diharapkan. Menurut saya, kamera Nikon P900 cocok untuk foto-foto subjek yang tidak bergerak dan dikomposisikan dengan hati-hati. Karena zoomnya sangat besar, kualitas gambar terbaik akan didapatkan oleh fotografer yang disiplin dalam mengunakan tripod.

Kelebihan

  • Lensa Zoom sangat panjang
  • Ukuran dan berat kamera relatif ringan dibandingkan dengan sistem kamera DSLR
  • Stabilization cukup efektif

Kelemahan

  • Kualitas foto di 1500-2000mm
  • Kualitas gambar kurang bagus di kondisi cahaya yang gelap
  • Kinerja/kecepatan kamera relatif lambat saat zoom
  • Tidak ada pilihan RAW

nikon-p900-lcd

Spesifikasi Nikon P900

  • Lensa 24-2000mm f/2.8-f/6.5 – 83X
  • ISO 100-6400
  • 16 CMOS, 1/2.3″
  • Video 1080/60p
  • Optical stabilization system (VR) 5 stop
  • 7 fps
  • Wifi & NFC
  • jendela bidik elektronik 921 juta titik
  • 900 gram

Mengenal lensa ultra wide pada sistem mirrorless APS-C

$
0
0

Lensa lebar kerap diidentikkan dengan foto pemandangan dan interior. Wajar saja karena fokal lensa yang lebar memang bisa mencakup sudut pandang yang luas sehingga disukai fotografer landscape dan juga arsitektur. Pada sistem full frame, fokal lensa 24mm sudah dianggap wide, dan fokal 16mm masuk ke kelompok ultra wide. Tapi di sistem APS-C, akibat ukuran fisik sensor yang lebih kecil membuat produsen lensa harus menyesuaikan fokal lensanya (tergantung crop factor dari sensor, umumnya 1,5x hingga 1,6x). Maka itu lensa di sistem APS-C yang fokalnya 18mm terasa kurang lebar karena sebetulnya dia ekivalen dengan 27mm (akibat koreksi crop factor tersebut).

Fokal lensa 12mm (ekivalen  18mm di full frame)

Fokal lensa 12mm di kamera APS-C (ekivalen 18mm di full frame)

Akhirnya di sistem kamera APS-C, kita mengenal fokal lensa yang lebih lebar lagi, misalnya fokal 10mm, 11mm atau 12mm yang pada dasarnya ekivalen dengan fokal 16mm sampai 18mm di sistem full frame. Di sistem kamera DSLR, berbagai pilihan lensa ultra wide tersedia lengkap, baik dari pihak Canon/Nikon maupun pihak ketiga (Tamron/Sigma/Tokina). Tapi di sistem kamera mirrorless, pilihan lensa yang ada memang belum sebanyak DSLR, juga masih jarang ada lensa yang dibuat oleh pihak ketiga. Jadi ada baiknya kita mengenal seperti apa lensa-lensa ultra wide khususnya di sistem mirrorless APS-C yang ada saat ini.

Sony

Anda pemakai kamera Sony mirrorless E mount (NEX atau Alpha) tentu kenal dengan lensa SEL 10-18mm f/4 OSS seharga 9 juta rupiah ini. Built quality lensa ini sangat baik, berbahan logam dan mount dari logam juga. Fokalnya ekuivalen dengan 15-27mm, pakai 7 bilah diafragma dan diameter filter 62mm. Lensa ini terdiri dari 10 elemen yang tersusun atas 8 grup, bobotnya 225 gram.

jual-10-18mm-f4-oss-02

Plus :

  • bukaan konstan f/4
  • kualitas optik baik
  • kualitas bahan baik
  • OSS/stabilizer

Minus :

  • rentang fokal agak pendek (cuma sampai 18mm)
  • tidak ada tuas AF-MF (pindah mode AF-MF melalui kamera)

Fuji

Pemilik Fuji X juga tentu sudah akrab dengan lensa Fuji XF 10-24mm f/4 R OIS yang dijual di harga 12 juta rupiah, lensa yang masuk ke dalam seri XF ini punya cincin aperture, ada 7 bilah diafragma dan punya kualitas bahan material bodi dan internal optik yang sangat baik. Lensa Fuji ini cukup besar dengan filter 72mm dan bobot 420 gram, salah satu alasannya karena memiliki 14 elemen lensa di dalamnya. Bila kita cermati ada tiga cincin di lensa Fuji ini, pertama untuk manual fokus, lalu kedua untuk zoom dan ketiga untuk merubah diafragma.

fujifilm_10-24

Plus :

  • bukaan konstan f/4 dan ada cincin aperture
  • kualitas optik sangat baik
  • kualitas bahan baik
  • OIS / stabilizer

Minus :

  • harga cukup tinggi
  • tidak ada indikator f-stop di cincin aperture
  • tidak ada manual focus instant override

Samsung

Sistem kamera Samsung NX punya satu lensa wide yaitu 12-24mm f/4-5.6, yang fokalnya ekivalen dengan 18-36mm. Lensa seharga 5,5 juta ini punya bahan plastik tapi mount dari logam, ukuran lumayan kecil dengan bobot hanya 200 gram saja. Seperti umumnya lensa Samsung lain, terdapat tombol i-Fn di samping lensa untuk mengatur berbagai setting kamera. Terdapat 10 elemen lensa dan 7 bilah diafragma di dalam lensa yang punya filter 58mm ini.

samsung-12-24mm-f-4-5-6-ed-wide-angle-zoom

Plus :

  • kecil, ringan dan tidak mahal
  • kualitas optik baik
  • tombol i-Fn (untuk mengganti berbagai setting)

Minus :

  • fokal 12mm kurang lebar dibanding sistem lain
  • tanpa fitur OIS

Canon

Kamera Canon mirrorless EOS-M punya lensa lebar untuk mount EF-M yang bernama EF-M 11-22mm f/4-5.6 IS STM. Lensa ini agak jarang dijumpai di pasaran, mungkin karena pengguna kamera EOS-M belum begitu banyak. Lensa berbahan logam ini termasuk baik dalam arti fitur, kualitas optik dan bahan bodinya. Di dalam lensa berbobot 220 gram ini terdapat 12 elemen, 7 bilah diafragma dan filter 55mm.

EF-M-11-22mm

Bila pemilik EOS-M kesulitan mencari lensa ini, bisa juga memakai lensa alternatif yaitu lensa EFS 10-18mm f/4.5-5.6 IS STM, tentunya dengan memasang adapter khusus. Lensa untuk kamera DSLR ini harganya sangat terjangkau yaitu 3,3 jutaan tapi tetap punya fitur seperti IS dan STM. Memang bahan bodi lensa ini full plastik termasuk mount-nya, tapi didalam lensa seberat 240 gram ini terdapat 14 elemen lensa dan ada 7 bilah diafragma serta pakai diameter filter 67mm.

Plus :

  • motor fokus STM
  • bahan logam (untuk lensa EFM 11-22mm)
  • murah (untuk EFS 10-18mm)
  • kualitas optik baik
  • ada IS

Minus :

  • lensa EF-M 11-22mm agak sulit dicari
  • lensa EF-S 10-18mm rentang fokal agak pendek (cuma sampai 18mm)
  • tidak dapat lens hood (beli terpisah)
  • lensa EF-S 10-18mm mesti pakai adapter (kecuali dipakai di DSLR)

Perkembangan teknologi

Saat ini desain lensa cukup banyak berubah dibanding beberapa tahun lalu. Lensa wide yang dulunya kita kenal punya manual fokus yang dipenuhi skala indikator jarak (untuk hiperfokal), kini umumnya sudah diganti dengan manual fokus elektronik. Motor fokusnya pun umumnya sudah yang berjenis silent, yang berputar dengan senyap dan tidak terekam suara motornya saat rekam video. Bahkan dengan kamera yang punya layar sentuh dan kemampuan hybrid AF, kita bisa dengan mudah menyentuh layar untuk menentukan titik fokus, baik untuk foto maupun video. Tapi manual fokus secara elektronik juga punya kelemahan, seperti kamera perlu dalam keadaan hidup (on) untuk bisa manual fokus dan lebih repot untuk mengatur manual fokus ke infinity.

Fuji 10-24mm dan X-T1 di tangan saya

Fuji 10-24mm dan X-T1 di tangan saya

Lensa Fuji termasuk lensa yang sukses memadukan teknologi modern dengan desain lensa konvensional (klasik) dengan adanya cincin apertur, hal ini sejalan dengan konsep retro klasik di bodi kamera Fuji (banyak pakai dial/roda untuk ganti setting). Untuk sistem Canon saya lihat lensa DSLR-nya kalau sudah berteknologi STM pada prinsipnya sudah seperti lensa mirrorless, Canon tampaknya perlahan tapi pasti membuat berbagai lensa STM untuk DSLR mereka.

Akhir kata, setiap merk tentu punya pertimbangan sendiri dalam mendesain bodi/optik/motor fokus dsb dan itu tentu berdampak pada harga jual. Tapi satu yang pasti, saya cermati semua lensa modern sudah punya kualitas optik yang baik, ketajaman yang tinggi dan minim cacat lensa, dan ini adalah sebuah kabar baik bagi kita semua.

Buku panduan memilih sistem kamera dan lensa, buku-buku fotografi, kamera, lensa, tripod dan lainnya bisa dipesan lewat ranafotovideo.com Dijamin aman dan asli, toko ini dikelola langsung oleh Enche & Iesan  dari infofotografi.com.

Panasonic GX8 : kamera mirrorless four thirds paling lengkap dan handal

$
0
0

Kamera mirrorless di tahun 2015 ini banyak sekali pilihannya, jauh lebih banyak dari kamera DSLR, tapi sebagian besar masih punya banyak kelemahan dan fiturnya masih tidak selengkap kamera DSLR canggih. Panasonic GX8 hadir untuk membungkam keluhan tersebut dan mungkin merupakan kamera yang bisa menarik perhatian Anda untuk pindah dari kamera DSLR ke mirrorless, jika Anda masih memakai DSLR tentunya :).

panasonic-gx8-12-35mm

Mari kita periksa sama-sama apa saja fitur unggulan dimiliki kamera Panasonic GX8 ini:

Sensor four thirds baru 20 MP

Sampai saat ini, resolusi paling tinggi untuk kelas micro four thirds adalah 16MP, dan sudah cukup lama dan banyak digunakan. Peningkatan resolusi ini membuat hasil foto lebih detail. Dari hasil pengujian pihak luar, kendali noise juga masih baik.

Body yang tangguh, banyak tombol kustomisasi dan weathersealed

Bagi yang suka berpetualang, misalnya ke hutan, air terjun, foto di saat cuaca buruk, tidak perlu kuatir karena Panasonic GX8 dilengkapi dengan body yang tangguh dan tahan air. Body Panasonic GX8 agak besar, lebih besar dari GX7 tapi masih lebih kecil GH4. Ukuran yang gak besar ini bisa termasuk nilai positif dan juga negatif. Bagi yang suka travel light tentunya ini negatif. Selain ukuran agak besar, beratnya juga cukup signikan yaitu 487 gram (termasuk baterai), lebih berat dari saingannya Sony A6000 (344 gram) dan sedikit Fujifilm X-T10 (440 gram). Bagi yang ingin kamera yang enak digenggam dan terasa kokoh, dan juga bagi yang suka tombol-tombol yang banyak, hal ini merupakan hal yang positif. Ada lima tombol yang bisa dikustomisasi.

panasonic-gx8-lcd-putar

Layar LCD dan jendela bidik canggih

Layar LCD Panasonic GX7 resolusinya tinggi (1 juta titik), dan bisa diputar segala arah dan juga bisa touchscreen. Touchscreen bisa digunakan untuk mengganti setting, fokus dan juga memotret. Jendela bidik elektroniknya juga detail (2.3 juta titik), dan unik hanya untuk kamera ini saja, jendela bidiknya bisa diputar ke atas. Fitur ini mungkin berguna bagi yang suka foto makro di luar ruangan. Sayangnya, jendela bidik dan roda kendali yang banyak menghabiskan tempat sehingga kamera ini tidak memiliki built-in flash.

Kecepatan foto berturut-turut yang cepat dan buffer yang lapang

Suka foto aksi seperti olahraga, pets, anak-anak kecil, satwa liar? Kecepatan foto berturut-turut Panasonic GX8 cukup cepat, 6 foto per detik dengan autofocus tracking, 8 foto perdetik tanpa autofocus tracking. Buffernya juga sangat lapang, dan bisa merekam berturut-turut dengan cepat sampai kartu memory habis.

Kecepatan autofocus tinggi

Dari pertama sistem micro four thirds berdiri, Panasonic memang terkenal memiliki sistem autofocus yang cepat, yang GX8 juga sama. Panasonic GX8 mengunakant teknologi autofokus DFD (Depth from Defocus) yang piawai dalam kecepatan baik di kondisi terang maupun gelap (sampai EV-4). Panasonic mengklaim bisa memotret dengan kecepatan autofokus 0.07 detik, yang merupakan salah satu kamera dengan AF tercepat saat ini.

Built-in Image stabilization

Kamera Panasonic adalah kamera mirrorless pertama (Panasonic G1), tapi belakangan yang lebih populer  kamera Olympus karena memiliki built-in image stabilization dan juga desain retronya yang dianggap lebih fashionable, tapi kini kelebihan tersebut tidak ada lagi, karena Panasosic GX7 dan GX8 sudah punya built-in image stabilization. Built-in image stabilization yang dimiliki GX8 ini empat axis, dan bisa bekerja sama dengan lensa yang memiliki image stabilization untuk hasil yang maksimal. Sayangnya stabilizer ini tidak berfungsi saat merekam video.

Video

Dunia sinematografi mengenal Panasonic sebagai produsen kamera foto dan video yang handal dari jaman dulu. Panasonic GH4 adalah kamera yang sangat populer di kalangan sinematografi saat ini. GX8 juga up-to-date dalam hal ini karena sudah bisa merekam video 4K (meskipun sebagian frame terkena crop). Berkaitan dengan video, GX8 punya fitur unik, yaitu kita bisa mengambil salah satu frame video menjadi foto beresolusi 8 MP. Dengan fitur ini, fotografer dapat menangkap momen yang sulit seperti momen olahraga, satwa liar dan mendapatkan video dan foto sekaligus. Fitur ini juga terdapat di Panasonic G7.

panasonic-gx8-depan

Kesimpulan

Kamera mirrorless Panasonic GX8 adalah kamera yang paling lengkap all-around. Sulit menemukan kelemahan kamera ini karena semua fitur penting dan canggih sudah ada di dalam kamera ini. Bagi yang sudah memiliki banyak lensa micro four thirds (Olympus, Panasonic dan beberapa produsen lensa lain) tentuya tidak perlu berpikir panjang untuk upgrade ke Panasonic GX8. Bagi yang memiliki sistem kamera DSLR/mirrorless lain, mungkin akan perlu mempertimbangkan apakah kualitas gambar sensor micro four thirds dan resolusi foto 20 MP di ISO 3200 sudah cukup bagus bagi kebutuhan masing-masing. (Sebagai info, Instagram/facebook hanya butuh foto 1-2 MP). Selain itu, berat (487 g)dan ukuran GX8 yang cukup besar ini juga perlu dipertimbangkan. Kamera ini sangat cocok untuk photo/video journalist (pewarta foto), street photography, dan travel photography. Harganya US$1199, atau sekitar Rp 16 juta body-only.

Simak juga video Panasonic Lumix di Youtube.


Review kamera Canon 760D

$
0
0

Canon 760D merupakan kamera DSLR pemula yang tercanggih fiturnya di tahun 2015 ini. Kamera ini termasuk kelas pemula karena memiliki angka tiga digit. Secara sekilas, 760D memang terlihat seperti kamera DSLR pemula, yang ditandai dengan ukurannya yang ringkas, dan bahan kamera sebagian besar dari plastik (bukan logam magnesium alloy). Setelah diteliti lebih jauh, 760D memiliki beberapa sifat seperti kamera kelas menengah dua digit seperti 70D. Harga kamera ini sekitar 8-8.2 juta body only, dan 12.2 juta dengan lensa zoom 18-135mm IS STM.

canon-760d-depan

Kemiripan kamera ini dengan kamera semi pro bisa dilihat dari layar LCD yang berada dibagian atas kamera untuk melihat setting exposure dan beberapa setting lainnya. Selain itu, 760D memiliki roda kendali di bagian belakang kamera, sebuah ciri yang biasanya hanya dimiliki kamera kelas menengah/semi pro.

canon-760d-backRoda kendali ini agak kecil bagi saya. Kadang sulit dijangkau dengan jempol. Dengan kehadiran roda kendali ini, pengguna dapat mengubah bukaan lensa atau kompensasi eksposur tergantung mode kamera apa yang aktif.

canon-760d-top

Layar LCD kecil diatas kamera ini yang membedakan antara kamera Canon 760D ini dengan kamera DSLR pemula lainnya.

Spesifikasi hardware kamera ini juga cukup canggih. Katakanlah 24 MP APS-C sensor yang merupakan sensor kamera dengan resolusi tertinggi dan terbaik saat ini, bahkan mengalahkan Canon EOS 70D, 60D dan 7D.

Sistem autofokus dari 760D merupakan warisan dari kamera profesional 7D yang sudah teruji dari kecepatan dan akurasi foto untuk subjek diam dan bergerak. 19 titik fokus yang tersedia semuanya bersifat cross-type yang sensitif. Dengan adanya sistem autofokus ini, tombol di bagian atas bertambah satu, yaitu tombol pengganti autofokus, tombol ISO, dan tombol lampu.

Kiri: f/8, 1/250 detik, ISO 100 Kanan: f/11, 1/60 detik, ISO 100.

Kiri: f/8, 1/250 detik, ISO 100 Kanan: f/11, 1/60 detik, ISO 100. Gradasi warna dalam foto yang dihasilkan kamera ini mulus dan enak dipandang.

Kualitas gambar yang dihasilkan sensor 24MP dan prosesor DIGIC 6 ini cukup baik meng-handle ISO tinggi. Di ISO 100-400, kualitas sangat baik. ISO 800-3200 kualitas sedang, dan 6400 dan 12800 kualitas kurang begitu baik karena detail dan ketajaman berkurang. Saat memotret file RAW, color noise terlihat cukup banyak, tapi saat memotret JPG, dan setting noise reduction standard, color noise bisa ditekan.

canon-760d-enche-02

ISO 800, f/2.8, 1/50 detik – Olah digital dengan Adobe Lightroom

Dynamic range, kemampuan image sensor menangkap dan membedakan antara terang-gelap, lebih baik daripada sensor 18MP atau 20MP, dan menurut saya sudah cukup baik untuk fotografi sehari-hari tapi belum sempurna. Foto interior gereja Katolik diatas misalnya, kamera mampu menangkap detail di bagian terang (dekat jendela) dan bagian yang gelap (meja dan bangku) dengan cukup baik, meskipun bagian yang gelap muncul noise.

f/2.8, ISO 800, 1/13 detik, 35mm

f/2.8, ISO 800, 1/13 detik, 35mm – Lensa EF-S 17-55mm f/2.8 merupakan lensa favorit saya karena bisa memunculkan warna-warna yang kontras, padahal di mata saya botol-botol ini gelap dan tidak menarik.

Implementasi live view Canon 760D ini saya rasakan juga lebih baik dari kamera DSLR pendahulunya dan juga pesaing. Di mode live view, kita bisa mengganti nilai bukaan, shutter speed, ISO secara langsung dan melihat efeknya di layar. LCD 760D ini touchscreen, dan juga bisa diputar, memudahkan untuk memotret dengan angle yang tidak biasa. Saat memotret dengan live view, reaksi autofokus dan kamera terasa lebih cepat daripada kamera DSLR lainnya dan tidak begitu berisik dibandingkan model terdahulu (70D, 700D, 650D). Juga yang mengejutkan saya adalah tidak ada black out layar dan shutter lag cukup minimal. Namun kecepatan auto fokus dan foto berturut-turutnya saat live view tidak secepat saat memotret melalui jendela bidik.

Kamera ini mengunakan baterai yang berbeda dengan pendahulunya 700D/650D, yaitu baterai LP-E17 yang kapasitasnya 440 foto per charge. Dalam pengalaman saya, foto dari pagi jam 6 sampai siang, sekitar 250 foto, indikator baterai masih penuh. Sedangkan teman-teman lain yang mengunakan compact/mirrorless sudah habis baterai pertama mereka sesaat sebelum makan siang.

Yang saya sayangkan, beberapa pengaturan secara software tidak diberikan Canon untuk kamera Canon 760D, sesuai tradisi kamera DSLR pemula, pilihan ISO hanya 1 stop, bukan 1/3 stop, tidak ada pilihan pengaturan Kelvin.

Kelebihan Canon 760D

  • Kualitas gambar baik, detail tinggi
  • Lumayan ringkas dan ringan untuk kelas kamera DSLR
  • Handling dan fitur seperti kamera semi-pro
  • Sistem autofokus 19 titik yang sudah teruji
  • Kinerja autofokus dan implementasi live view yang bagus
  • Built-in flash bisa untuk memicu flash secara optik/cahaya
  • Made in Japan (Quality Control yang lebih baik?)

Kelemahan Canon 760D

  • Roda kendali di bagian belakang kamera bagus, tapi agak kecil
  • Pilihan ISO 1 stop, bukan 1/3 stop untuk pengaturan yang lebih presisi
  • Auto ISO tidak ada pilihan minimum shutter
  • Tidak ada pengaturan Kelvin
  • Autofokus saat liveview di kondisi cahaya lambat misalnya indoor, agak pelan (1/2-1.5 detik) dan tergantung dari lensa yang digunakan
  • Sedikit pilihan kustomisasi misalnya mengubah/memprogram tombol menjadi fungsi lain
  • Tidak ada AF-micro adjustment untuk mengkalibrasi lensa yang autofokusnya sedikit melenceng.
  • Jendela bidik optik ukurannya agak kecil dan dari kaca/pentamirror yang sedikit lebih gelap.
enche-canon-760d-model-01

24 Megapixel merekam detail dalam jumlah yang cukup banyak. Foto ini saya buat dengan lensa Canon 100mm f/2.8 L IS Macro – Foto belum di-retouch/edit – Model Dersya F.

Krop 100% dari foto diatas

Krop 100% dari foto diatas

Kesimpulan

Setelah mencoba kamera ini beberapa hari, saya cukup senang mengunakannya, dan tidak ada keluhan yang berarti dalam kinerja, kemudahan operasi atau kualitas gambar yang dihasilkan. Jika Anda saat ini mengunakan kamera DSLR pemula Canon seperti Canon 1xxxD, 5xxD, 6xxD, upgrade ke Canon 760D akan merasakan banyak peningkatan yang berarti. Bagi yang sama sekali belum memiliki kamera DSLR/mirrorless, tentunya akan gak bingung karena banyaknya kamera saingan dibawah 10 juta. sebagian besar lebih ringkas/kecil daripada Canon 760D.

Tidak mudah memilih kamera digital karena rata-rata sudah cukup bagus dan harganya juga tidak terlalu tinggi. Bagi saya Canon 760D kamera yang bagus untuk pemula ataupun kamera cadangan untuk profesional. Keuntungan memilih sistem kamera DSLR Canon yaitu jumlah pemakainya banyak dan pilihan dan ketersediaan lensa dan aksesorisnya paling banyak dibandingkan dengan sistem kamera lainnya.

Dibandingkan dengan Canon 750D, 760D punya layar LCD tambahan, dua roda kendali, dan autofokus live view yang lebih bagus saat mengikuti subjek bergerak. Menurut saya lebih baik yang 760D karena dana ekstra yang dikeluarkan sangat pantas. Simak pembahasan lengkapnya di artikel ini.

Dibandingkan dengan Canon 70D, 760D punya image sensor yang sedikit lebih baik 24 MP vs 20 MP, prosesor lebih baru (DIGIC 6 vs DIGIC 5+), ukuran kamera 760D lebih ringkas, lebih murah, tapi semuanya lebih kecil (jendela bidik, roda kendali, layar lcd di bagian atas kamera), dan autofokus di liveview tidak secepat 70D, terutama saat mengikuti subjek bergerak. Ikuti pembahasan saya tentang Memilih kamera 760D dan 70D.

Dibandingkan dengan Nikon D5500, kualitas gambar dari Nikon sedikit lebih baik, ukuran kamera Nikon lebih kecil dan ringan, tapi flashnya tidak bisa untuk memicu flash off-camera, autofokus saat live-view lebih lambat dan tidak bagus untuk subjek bergerak.

enche-canon-760d-model-02

Krop 100% dari foto diatas

Krop 100% dari foto diatas

Spesifikasi kamera Canon 760D

  • 24MP APS-C Sensor
  • 19 titik autofokus – semuanya cross type
  • ISO 100-25600
  • LCD bisa diputar dan touchscreen
  • Foto berturut-turut 5 foto per detik
  • Berat 565 gram termasuk baterai
  • Shutter speed: 30 – 1/4000 detik
  • Jendela bidik Pentamirror
  • Wifi & NFC

Harga: Sekitar 8.2 juta body only, 12.2 juta dengan lensa 18-135mm IS. (2015)

Terima kasih kepada Pak Gunawan Setiadi untuk pinjaman kamera Canon 750D dan lensa Canon EF-S 17-55mm f/2.8 IS USM.

—-
Sudah beli kamera? Yuk belajar mengoperasikan kamera dan ikuti kursus fotografi dan tur fotografi. Periksa jadwalnya di halaman ini.

Review lensa Canon EF-S 10-18mm IS STM

$
0
0

Setelah punya lensa kit, anggaplah lensa 18-55mm, biasanya orang tanya apa lensa berikutnya yang perlu dibeli. Biasanya saran saya adalah lensa lebar dan/atau lensa tele (misal lensa 55-200mm), tergantung mana yang lebih prioritas. Kalau dana tidak jadi kendala, ya dua-duanya boleh diambil sekaligus karena saling melengkapi. Lensa lebar biasanya jadi prioritas kalau fokal terlebar dari lensa kit yaitu 18mm dirasa kurang lebar (salah satunya akibat crop factor, sekitar 28mm saja). Pilihan lensa lebar untuk sistem APS-C biasanya lensa yang dimulai dari fokal 10,11 atau 12mm. Misal Canon 10-22mm, Nikon 10-24mm, Tokina 11-16mm dan sebagainya. Harga lensa wide memang agak tinggi, kadang sebagian orang urung membeli karena dananya belum mencukupi.

Canon EF-S 10-18mm

Lensa Canon EF-S 10-18mm, bentuknya mirip lensa kit, mount lensa juga plastik

Saya agak terkejut saat tahun lalu Canon mengumumkan lensa baru, yaitu EF-S 10-18mm IS STM, setidaknya ada dua hal yang membuat saya agak terkejut. Pertama adalah karena Canon sudah punya lensa wide untuk EF-S yaitu 10-22mm seharga 6-7 jutaan. Kedua karena harganya yang agak tidak umum, yaitu 3 jutaan rupiah, jauh lebih murah daripada lensa Tokina 12-24mm yang saya pakai sejak 3 tahun lalu. Saya penasaran seperti apa lensanya dan mengapa dia bisa begitu murah. Saya pikir tidak mungkin Canon akan menjual lensa murah dengan mengorbankan kualitas optiknya, karena bakal jadi bumerang di jangka panjang. Lalu kenapa dia bisa dijual 3 jutaan saja? Mungkin saja itu bagian dari strategi bisnis Canon, saya kurang tahu soal itu, tapi saya ingin cari tahu secara faktual alias ciri-ciri fisik yang bisa ditelaah.

Lensa 10-18mm dipasang di bodi APS-C seperti 70D.

Lensa 10-18mm dipasang di bodi APS-C seperti 70D. Fokalnya setara dengan 16-28 di full frame.

Menilik dari spesifikasinya, saya mulai bisa mengerti apa saja yang bisa dilakukan Canon untuk menekan harga, misalnya :

  • bodi berbahan plastik, mount juga plastik dan ukurannya kecil, kualitas fisik bodinya mirip lensa kit
  • jangkauan fokal terjauh (zoom paling mentok) hanya sampai 18mm, tapi menurut saya tidak masalah karena justru jadi tidak saling overlap dengan lensa kit (18-55mm atau 18-135mm)
  • bukaan maksimal tidak besar, dan tidak konstan, yaitu f/4.5-5.6 walau bagi saya juga tidak masalah karena umumnya saya pakai lensa wide untuk pemandangan (Sering pakai antara f/8 hingga f/16)
  • tidak pakai jendela indikator jarak fokus, lagipula ini adalah lensa STM (semua lensa STM pakai manual fokus elektronik)
  • tidak diberi bonus hood lensa
Proporsi bodi dan lensa masih tampak seimbang

Proporsi bodi dan lensa masih tampak seimbang

Tapi jangan salah, bukan berarti lensa EF-S ini tidak punya keunggulan. Bahkan lensa yang berisi 14 elemen optik dalam 11 grup (termasuk 1 Asph. dan 1 UD) ini sudah memiliki fitur Image Stabilizer (IS) yang diklaim sampai 4 stop, sehingga kita bisa memotret dengan speed lambat dengan minim resiko getar. Disini fitur IS menurut saya penting karena lensa ini bukaannya tidak besar. Selain itu sistem motor fokus STM membuat auto fokusnya senyap dan cepat, cocok untuk rekam video juga. Diameter filter lensa ini 67mm, bagian depan lensa tidak berputar saat auto fokus sehingga cocok untuk pasang filter CPL. Lensa ini bisa fokus sedekat 22cm dari sensor (atau sekitar 15cm dari ujung lensa) dan punya 7 bilah diafragma yang termasuk lumayan untuk bokeh agak bulat.

Pengujian fitur IS :

Dengan fokal 18mm, saya ingin menguji kemampuan IS lensa ini dengan shutter selambat 1/2 detik atau kira-kira 3 stop lebih lambat dari batas aman untuk lensa 18mm. Sebagai subyek uji, seperti biasa saya suka bola dunia yang penuh tulisan ini :

Setting : fokal 18mm, f/5.6, shutter speed 1/2 detik

Setting : fokal 18mm, f/5.6, shutter speed 1/2 detik

dan inilah hasil crop 100% dari foto diatas :

Fitur IS On, hasil crop terlhiat foto masih tajam

Fitur IS On, hasil crop terlihat foto masih tajam

Sebagai kesimpulan, yang saya suka dari lensa ini :

  • harga terjangkau, cocok untuk pemula yang baru belajar fotografi dan perlu lensa wide yang bisa memberi perspektif berbeda
  • kecil dan ringan (230 gram), sepintas mirip sekali dengan lensa kit 18-55mm
  • auto fokus cepat, tidak bersuara, dan oke untuk video juga
  • optiknya termasuk baik, seperti ketajaman, warna dan kontras tidak ada keluhan
  • ada fitur IS, sesuatu yang biasanya tidak diberikan di lensa wide
  • rendah cacat lensa seperti chromatic abberation dan flare
  • filter 67mm tergolong umum dan terjangkau (umumnya lensa wide pakai filter 77mm yang mahal)

Hal-hal yang perlu diperhatikan dari lensa ini :

  • mount plastik, perlu lebih hati-hati karena plastik lebih rentan patah daripada logam
  • sebagai lensa STM, dia manual fokusnya by-wire, artinya ring manual fokus hanya berguna saat kamera dalam keadaan ON
  • lensa STM juga artinya tidak ada jendela jarak fokus, kelemahannya sulit sekali manual fokus ke infinity misalnya (agak sulit foto bintang seperti milkyway)

Secara umum saya menyukai lensa ini, ukuran, bobot dan fiturnya sesuai dengan yang saya cari, sedangkan kualitas optiknya melampaui harga jualnya. Dibandingkan lensa EF-S 10-22mm perbedaannya adalah dalam hal rentang fokal, kualitas bahan bodi dan indikator jarak fokus. Kualitas optik kurang lebih setara, atau lensa 10-22mm sedikit lebih unggul dibanding EF-S 10-18mm.

Beberapa contoh foto dari lensa ini :

Perbedaan fokal 10mm dengan 18mm :
IMG_1122

IMG_1123

Untuk arsitektur :

IMG_2455

IMG_2459

Untuk pemandangan :

IMG_0421

IMG_1376

IMG_2856

—————————————————————————————

Yuk ikuti Workshop Kupas Tuntas DSLR Canon bersama saya, Minggu 20 September 2015 jam 13.00-17.00 WIB, biaya 300.000 bisa daftar ke 0858-1318-3069.

Review singkat Leica X type 113

$
0
0

Saat mendengar merk kamera Leica, biasanya reaksi pertama yang saya dapatkan adalah merk kamera jadul jaman film, dan kesan keduanya adalah mahal. Tapi ternyata, Leica juga membuat kamera digital yang dilengkapi dengan teknologi yang modern dengan harga yang masih relatif terjangkau dibandingkan sistem kamera Leica M.

leica-x-113

Salah satu kamera digital Leica yang cukup baru (keluaran tahun 2014) yaitu Leica X type 113. Kamera ini adalah sebuah kamera compact berkualitas tinggi. Di dalam Leica X (113) terdapat sensor APS-C CMOS, 16 MP yang sudah teruji dan digunakan di banyak kamera DSLR. Kamera ini dipadukan dengan lensa Leica Summilux 23mm f/1.7, ekuivalen dengan 35mm di format 35mm / full frame.

Leica menamakan kamera ini Leica X, penamaan ini agak membingungkan, karena ada Leica X lainnya, yaitu X-E, X2, X-Vario. Untuk membedakan dengan kamera Leica X lainnya, Leica menyisipkan nomor type ke masing-masing kamera. Kamera Leica X yang saya review ini memiliki no. type 113.

Semua Leica X memiliki konsep yang mirip, yaitu kamera dan lensanya menyatu dan sensor gambar yang digunakan sebesar APS-C yang relatif lebih besar dan hanya kalah besar dari kamera bersensor full frame seperti Leica Q dan Leica M.

Desain Leica X ini terlihat minimalis. Sebagian besar fisik luar kamera terbuat dari bahan logam (alumunium dan magnesium). Bagian atas dan depan kamera terbuat dari logam, di bagian belakang kamera, dekat layar LCD terbuat dari plastik, pintu port USB juga dari plastik. Leica X (113) tersedia dalam dua jenis warna, yang hitam dan yang perak-coklat. Saya beruntung dipinjamkan versi warna hitam oleh Leica Store Indonesia untuk menguji kamera ini.

Pengaturan kamera penting seperti bukaan dan shutter speed terletak diatas kamera, juga pilihan mode autofokus terletak didekat tombol shutter. Pilihan ini sekaligus berfungsi untuk menyalakan atau mematikan kamera. Di bagian kiri dari kamera terdapat pop-up flash.

leica-x-top

 

Lensa dan penutup lensa Leica X (113) terbuat dari logam (jarang ada kamera yang membuat penutup lensa dari bahan logam). Lensa 23mm f/1.7 ini adalah lensa autofocus tapi juga memiliki tanda jarak (distance marking) untuk memudahkan bagi yang terbiasa dalam mengatur fokus secara manual.

Lensa ini bisa fokus cukup dekat ke objek foto, yaitu 20cm sampai tak terhingga, tapi saat fokus dekat, bukaan maksimumnya otomatis menjadi f/2.8 meskipun setting bukaan di kamera f/1.7. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas ketajaman foto. Bukaan maksimum f/1.7 bisa tercapai saat fokus ke objek yang jaraknya kurang lebih 1.5 meter, semakin mendekat, bukaan lensa akan otomatis menutup mendekati f/2.8. Kualitas foto di jarak jauh dan dekat sama baiknya.

indomie-leica

Untuk foto sedekat ini, bukaan lensa mengecil dari f/1.7 menjadi f/2.8. ISO 100, f/2.8, 1/125 detik.

leica-03-food

leica-04

Karena lensanya yang lebar, maka meskipun bukaan cukup besar (f/1.7) tapi latar belakang tidak akan blur sekali, tapi lumayan untuk membuat kesan dimensi saat motret foto orang/portrait dengan pemandangan yang luas, dan close-up seperti foto makanan, bunga, dll.

Layar LCD Leica X 113 sudah jauh lebih detail dan tajam daripada pendahulunya Leica X-E. Kini, layar LCDnya memiliki resolusi 921.000 titik, mirip dengan kamera DSLR/mirrorless yang beredar saat ini. Saat memotret di siang hari saat matahari bersinar terang, sulit melihat gambar di layar LCD dengan jelas. Saran saya adalah mengunakan aksesoris electronic viewfinder (Leica Visoflex Typ 20). Sebagai informasi, viewfinder ini juga bisa juga digunakan untuk kamera Leica T.

leica-visoflex-20

Kualitas gambar yang dihasilkan oleh Leica X sangat baik berkat optimisasi sensor kamera 16 MP dengan lensa 23mm f/1.7. Lensa dan kamera ini bisa menangkap detail pemandangan dengan baik. Warnanya netral, tidak begitu jenuh (saturated), dan tonalnya datar (flat).

Sekilas tonal kontras foto terlihat tidak terlalu menarik, tapi kita selalu bisa meningkatkan warna dan kontras melalui software Adobe Lightroom yang dipaketkan dengan pembelian kamera ini. Saat memotret dengan ISO tinggi, penyebaran noise dan bentuknya terlihat lebih alami seperti grain pada film, sehingga tidak mengganggu pandangan.

Screen Shot 2015-09-16 at 12.46.57 PM

Kiri : asli dari kamera, Kanan : Auto tone di Lightroom

Leica X memiliki filosofi desain seperti kamera Leica M dan T yaitu minimalis. Memang tidak banyak tombol dan roda kendali, tapi saat memotret saya tidak merasakan kesulitan. Tombol-tombol yang dibutuhkan sudah tersedia dengan baik, termasuk satu tombol merah di bagian atas kamera untuk merekam video. Leica X ini menurut saya juga sangat “ganteng” dan menjadi model yang baik untuk fotografi still life atau lifestyle selain untuk memotret.. :) Menu kamera Leica ini relatif sederhana dibandingkan dengan kamera digital jaman sekarang. Cuma ada 4 halaman dan setiap halaman berisi 8 item.

Leica-X-back-menu

Kinerja kamera secara umum cukup baik, autofokus di kondisi terang cepat, tapi bukan yang tercepat, sekitar 0.2-0.4 detik, sedangkan di kondisi cahaya gelap, autofokus sedikit lebih pelan, sekitar 0.8 detik. Sistem autofokus Leica X yaitu dengan contrast detect (deteksi fasa) sehingga tidak begitu bagus untuk mengikuti (tracking) subjek bergerak. Sistem autofokusnya cukup sederhana, yaitu 11 titik otomatis, atau 1 titik (tengah), spot (area kecil ditengah) dan Manual focus. Di mode Manual fokus, dan saat memutar lensa, bagian tengah layar akan menunjukkan bagian tengah dengan lebih besar/magnified sehingga mempermudah untuk mendapatkan fokus yang akurat.

leica-01
leica-02

Kelebihan Leica X 113

  • Kualitas foto sangat baik
  • Warna dan tone natural
  • Bisa fokus cukup dekat, 20cm
  • Tidak perlu pindah ke mode macro untuk fokus jarak dekat
  • Desain yang minimalist tapi menarik
  • Tombol dan menu yang jelas dan tidak membingungkan
  • Ukuran relatif ringkas mengingat sensor yang digunakan besar (APS-C) dan lensa yang bukaannya sangat besar (f/1.7).
  • Mengunakan format RAW yang universal (DNG)
  • Cukup ringkas dan tidak berat dibandingkan kamera bersensor APS-C (451 gram belum termasuk baterai)
  • Made in Germany

Kekurangan Leica X 113

  • Saat fokus lebih dekat dari 1.5 m, bukaan lensa mengecil secara otomatis
  • Saat zoom 3X untuk memeriksa foto di Playback, gambar tidak begitu tajam
  • Sebagian casing kamera dari plastik, terutama bagian belakang dekat layar LCD dan pintu USB.
  • Kinerja autofokus tidak cocok untuk foto subjek bergerak
  • Perbesaran area fokus saat manual fokus hanya bisa dibagian tengah saja.

Kesimpulan
Leica X type 113 adalah kamera yang desainnya minimalist. Selain desain yang menarik, Leica X (113) juga mampu menghasilkan foto dengan warna yang natural. Lensa 23mm f/1.7 ekuivalen 35mm cukup fleksibel untuk berbagai subjek dan kondisi cahaya, dan kualitas foto saat memotret jarak dekat sangat baik. Ukuran Leica X juga tidak besar dan berat, maka kamera ini oke untuk dibawa jalan-jalan dan kebutuhan fotografi sehari-hari.

—-

Untuk info ketersediaan produk dan harga, Anda bisa hubungi Leica Store Indonesia.

Review Sony FE 24-240mm f/3.5-6.3 OSS

$
0
0

Lensa Sony FE 24-240mm f/3.5-6.3 OSS ini dirancang untuk kamera Sony mirrorless bersensor full frame antara lain seri Sony A7, tapi bisa digunakan juga untuk kamera mirrorless Sony seri yang lain seperti Sony A6000, A5000 dan Sony NEX.

Perbedaan utamanya adalah saat dipasang di kamera bersensor APS-C, kamera hanya memanfaatkan bagian tengah lensa, sehingga sudut pandang 1.5X lebih sempit atau dalam kata lain lebih zoom/jauh.

ISO 100, f/8, 1/250 detik, 77mm

ISO 100, f/8, 1/250 detik, 77mm

Lensa ini dirancang untuk fotografer pengguna Sony A7 yang cuma mau bawa satu lensa saja untuk travel atau dokumentasi. Saya sempat mencoba mengunakan lensa ini dengan Sony A7S untuk dokumentasi acara di dalam ruangan dan saya tidak mendapatkan kesulitan yang berarti. Karena Sony A7s memiliki kemampuan ISO tinggi yang tersohor, saya mengkompensasikan bukaan lensa yang tidak begitu besar dengan ISO tinggi (1600-12800). Saya dapat memotret dengan leluasa tanpa mengunakan flash.

Saat acara tersebut sangat ramai sehingga tidak bisa banyak bergerak, dengan zoom yang fleksibel dari lebar sampai telefoto, memudahkan saya untuk memotret dengan berbagai framing. Kinerja autofokus juga cukup cepat untuk jarak menengah seperti 3-10 meter, tapi dibawah 2 meter, autofokus agak sedikit lambat.

Untuk mempercepat autofokus saat memotret dokumentasi, fitur Pre-AF saya aktifkan supaya autofokus otomatis jalan meskipun saya tidak menekan tombol shutter. Meskipun fitur Pre-AF ini akan menguras baterai, tidak masalah karena acaranya hanya beberapa jam dan saya memiliki baterai cadangan di tas.

sony-24-240mm-2

 

Sony 24-240mm bukan lensa yang ringkas, karena rentang zoom yang jauh membuat ukuran lensa menjadi panjang (11.8 cm) dan diameter filter cukup besar (72mm). Saat di zoom ke 240mm, panjang lensa hampir dua kali lipatnya, menjadi sekitar 20 cm.

Casing luar lensa terbuat dari logam membuatnya relatif berat yaitu 780 gram, lebih berat daripada kamera mirrorless Sony, tapi tidak lebih berat daripada lensa sapujagat full frame merk kamera lain seperti Nikon 28-300mm f/3.5-5.6 VR (800 gram) atau Canon 28-300mm f/3.5-5.6 IS L (1.6 kg). Karena dimensi dan beratnya, untuk memotret pemandangan sunrise dan sunset pastikan mengunakan tripod yang cukup kokoh.

DSC00384

Dipasang dengan Sony A6000

Saya berkesempatan mencoba Sony FE 24-240mm f/3.5-6.3 OSS ini lagi dalam rangka tour foto Pangalengan. Saya mencoba dengan Sony A7R dan A7S generasi pertama. Meski relatif besar, saya tidak menemukan masalah dalam handling karena saya sudah terbiasa mengunakan lensa-lensa tele kamera DSLR yang rata-rata 1 sampai 1.5 kg.

pangalengan-pohon

ISO 100, 28mm, f/8, 1/160 detik

Kualitas gambar dari lensa sapujagat tajam dari 24-100mm, setelah itu agak berkurang ketajamannya tapi masih cukup baik sampai 170mm, dan antara 170-240mm tidak begitu tajam, ketaranya saat memeriksa foto dengan zoom 100% dan terutama saat memasangnya di kamera bermegapixel besar seperti Sony A7R, tapi masih baik untuk cetak foto ukuran kecil atau web.

Jika memotret dengan Image Quality RAW, terdapat distorsi dan vinyet yang lumayan saat mengunakan di 24mm. Tapi bisa dibetulkan dengan profile lensa di sotware seperti Adobe Lightroom. Saat memilih JPG, kamera otomatis membetulkan distorsi dan vinyetnya.

Soal kepantasan harga lensa, saya pikir relatif tergantung bagaimana kita melihatnya. Sebagai alternatif, untuk mendapatkan rentang 24-240mm, Anda perlu lensa Sony FE 24-70mm f/4 Zeiss dan Sony FE 70-200mm f/4 OSS G. Kedua lensa memiliki optik, bukaan dan autofokus yang lebih baik, tapi berat dan harganya juga lebih tinggi. Total berat kedua lensa ini 1.27 kg, dan harga totalnya Rp 34.8 juta. Jika melihat dari segi itu, maka 24-240mm itu jadi terlihat relatif ringan dan murah.

ISO 100, f/8.0, 1/320 detik, 70mm

ISO 100, f/8.0, 1/320 detik, 70mm

ISO 400, f/8.0, 1/250 detik

ISO 400, f/8.0, 1/250 detik, 240mm

Fotografer yang memilih lensa sapujagat biasanya bukan yang mementingkan kualitas yang tertinggi atau mengharapkan hasil foto yang tertajam, tapi merupakan fotografer yang mementingkan kepraktisan, supaya tidak cepat capai dan juga tidak ingin repot-repot ganti-ganti lensa atau kamera sehingga kehilangan momen. Bagi mereka Sony 24-240mm adalah solusi yang terbaik. Untuk tour travel, kombinasi lensa Sony FE 16-35mm f/4 dan lensa 24-240mm biasanya sudah mencukupi.

Kelebihan lensa Sony 24-240mm

  • Rentang zoom yang fleksibel dari 24-240mm
  • Ketajaman tinggi, terutama di rentang 35-150mm dan bukaan f/8
  • Relatif terjangkau jika dibandingkan lensa FE lainnya
  • Cukup resisten terhadap flare
  • Saya tidak menemukan chromatic abberation

Kelemahan

  • Desain agak besar dan agak timpang saat dipasang dengan kamera mirrorless Sony
  • Autofocus saat memotret subjek yang dekat (dibawah 1.5 meter) agak lambat.
  • Rentang 170-240mm tidak begitu tajam
ISO 3200, f/5.0, 1/13 detik, 24mm

ISO 3200, f/5.0, 1/13 detik, 24mm

———-
Belajar dan tour fotografi yuk. Lihat jadwal Infofotografi.com disini.

Review kamera mirrorless Lumix GM1

$
0
0

Saya berkesempatan mencoba kamera Panasonic Lumix GM1 di saat tur daytrip ke Subang dan tur Pangalengan bulan ini dan ingin berbagi pengalaman dengan pembaca. Kamera mirrorless cenderung disukai untuk travel karena ringan, kecil dan simpel. Bila bicara kecil mungkin Lumix GM1 ini tidak ada tandingannya karena ukurannya benar-benar kecil, seperti kamera saku biasa. Di jajaran Lumix mirrorless, ada beberapa tipe kamera seri GH seri G (keduanya bentuknya mirip DSLR), ada juga seri GX (desain ala rangefinder) dan seri GF serta GM (untuk segmen pemula dan travel). Khusus seri GM saat ini ada GM1 dan GM5 dimana perbedaannya GM5 sedikit lebih besar dan ada jendela bidik, sedangkan GM1 benar-benar mungil walau sama-sama mengusung sensor 4/3 dengan jumlah piksel sebanyak 16 MP.

Kamera Lumix GM1 bahkan pernah kami nobatkan sebagai kamera terbaik 2013 karena perpaduan kualitas dan ukuran yang sulit disamai oleh kamera lain. Beberapa fitur yang dimiliki Lumix GM1 diantaranya:

  • bodi kecil tapi berbahan magnesium alloy
  • mode lengkap (PASM), RAW, scene mode dan ada C1-C2
  • auto fokus DFD yang cepat
  • layar sentuh 3 inci, 1 juta dot yang tajam
  • shutter elektronik hingga 1/16000 detik (paling lambat bisa 60 detik)
  • kecepatan shoot kontinu hingga 40 fps (shutter elektronik), atau 5 fps dengan shutter mekanik

Sebagai lensa kit untuk kamera ini Panasonic membuat satu lensa kecil Lumix 12-32mm f/3.5-5.6 OIS yang tampak proporsional, berjenis collapsible lens (diputar dulu untuk unlock) dan bukan zoom dengan motor tapi diputar pakai tangan secara manual (biasanya lensa kit kecil merk lain berjenis power zoom). Tidak ada ring manual fokus di lensa ini, jadi untuk manual fokus perlu menyentuh layar. Pada review kali ini saya tidak banyak mencoba lensa kit ini, tapi memakai lensa lainnya.

Lumix GM1 dipadankan dengan lensa 12-35mm f/2.8

Lumix GM1 dipadankan dengan lensa 12-35mm f/2.8

Karena saya terbiasa pakai kamera saku Lumix LF1, maka adaptasi saya ke kamera Lumix GM1 tidak terlalu sulit, banyak kesamaan antara tata letak tombol maupun interaksi menu. Karena ukuran kamera ini kecil maka tidak banyak ruang tersisa untuk tangan saya menggenggam kamera ini, bahkan saat membawa kamera saya lebih sering menggenggam bagian lensanya.

Saya lebih sering menggenggam lensa saat membawa kamera ini

Saya lebih sering menggenggam lensa saat membawa kamera ini

Yang saya suka dari kamera Lumix GM1 ini adalah sudah punya roda dial di belakang untuk ganti banyak setting. Juga terdapat selektor mode fokus (AF-S/AF-C/MF) di bagian atas, melingkari tombol Fn1 yang bisa diprogram untuk banyak fungsi lain. Untuk Fn2 sampai Fn6 juga tersedia untuk dikustomisasi tapi bukan berupa tombol, melainkan berupa tab di layar. Wajar kalau tidak banyak tombol yang bisa dijumpai di kamera ini karena keterbatasan ruang, tapi tombol 4 arah yang bisa jadi jalan pintas sangat membantu. Misal tombol kanan jadi WB, tombol kiri jadi mode AF area dsb.

Bagian belakang Lumix GM1

Bagian belakang Lumix GM1

Sensor gambar Live MOS 4/3 16 MP ini native-nya memang punya aspek rasio 4:3 dan saya yang terbiasa pakai aspek rasio 3:2 pun bisa memilih di menu. Bila dipilih 3:2 maka resolusi maksimumnya akan berkurang menjadi 14 MP karena sisi atas bawahnya akan kena crop. Pilihan Image Quality ada Standard dan Fine, saya temui di opsi yang Standard menghasilkan file size yang cukup kecil, dan ini berdampak lumayan pada penurunan kualitas JPG. Untuk itu sebaiknya selalu pilih yang Fine setiap memotret pakai file JPG.

Panasonic tidak memberikan flash hot shoe di kamera ini, jadi untuk kebutuhan flash cukup mengandalkan built-in flash saja yang ukurannya (dan kekuatannya) kecil. Desain flashnya juga unik karena lampu flash akan terangkat keatas (pop-up) saat tuas digeser ke kanan. Setealah muncul ke atas, flash juga bisa dibelokkan ke atas untuk kebutuhan bounce walaupun jangan berharap terlalu banyak mengingat kekuatan flash ini kecil. Kemampuan flash sync-nya juga terbatas sekali hanya 1/50 detik, dengan lensa yang ukurannya besar juga sinar flash dari kamera akan terhalang sebagian.

Kinerja Lumix GM1 termasuk mengesankan. Kamera siap dipakai memotret sesaat setelah tuas daya digeser ke ON. Di menu ada pilihan apakah kita mau setiap saat memakai shutter elektronik saja (silent, bisa burst sampai 40 fps) atau pakai shutter mekanik (bisa burst sampai 5 fps di mode AF-S atau 4 fps di mode AF-C).  Auto fokus berteknologi DFD terasa sangat cepat. Di kondisi cahaya cukup, saat tombol rana ditekan setengah, saat itu juga kamera langsung bunyi beep tanda fokusnya sudah dapat. Kita juga bisa menekan layar untuk memilih area fokus yang kita inginkan. Tapi sistem AF di kamera ini tetaplah deteksi kontras sehingga tetap bisa terkecoh oleh subyek lain yang lebih kontras, khususnya bila mode areanya memakai Auto area (23-area AF). Sistem deteksi kontras juga agak lemah di fokus kontinu (AF-C) walau untungnya teknologi DFD bisa sedikit membantu.

Mode AF-C untuk fokus kontinu ke subyek bergerak mendekat

Mode AF-C untuk fokus kontinu ke subyek bergerak mendekat, lensa 35-100mm f/2.8

Crop 100% menunjukkan fokusnya akurat/tidak meleset

Crop 100% menunjukkan fokusnya akurat/tidak meleset

Bagi yang ingin hasil maksimal sesuai keinginan untuk berbagai keadaan, atau ingin mencoba efek kreatif bakal menyukai kamera Lumix GM1 ini. Betapa tidak, ada banyak pilihan Scene Mode dan Creative Art Filter disini. Saya tidak sempat mencobanya satu-persatu, tapi beberapa favorit saya seperti filter Dynamic Monochrome, Impressive Art dan Old Days memberi hasil yang sesuai keinginan saya tanpa editing sama sekali.

Filter Dynamic Monochrome

Filter Dynamic Monochrome, lensa 35-100mm f/2.8

Filter Impressive Art

Filter Impressive Art, lensa 12-35mm f/2.8

Filter Old Days

Filter Old Days, lensa M.Zuiko 9-18mm

Beberapa contoh foto hasil jepretan Lumix GM1 file JPG :

P1080383

P1080301

P1080419

P1080599

P1080528

dan untuk file RAW diproses di Lightroom contoh fotonya seperti ini :

Foto 1 : mengatasi rendahnya kontras dengan menaikkan kontras, clarity dan vibrance.

P1080523

Foto 2 : mengatasi kontras tinggi dengan mengatur shadow dan highlight.

P1080600

Kesimpulan

Kamera Lumix GM1 ini pun memberi impresi positif bagi saya selama pemakaian, karena praktis, tidak repot dan kinerjanya baik. Berbagai filter efek yang ada juga membuat kamera ini makin menyenangkan untuk sehari-hari, juga adanya WiFi membantu bagi yang ingin segera berbagi foto ke medsos. Maka itu kamera ini cocok untuk teman traveling sehari-hari, detil pikselnya juga cukup untuk kebutuhan landscape dan interior serta adanya DFD fokus membuat kamera ini juga cocok untuk candid dan foto street. Penghobi fotografi juga akan menyukai keleluasaan fitur manualnya dan file RAW yang fleksibel untuk diedit. Karena terbatasnya fitur flash maka kamera ini tidak cocok untuk kebutuhan potret dengan flash (indoor/outdoor) tapi untuk sekedar fill flash masih ada built-in flash yang cukup membantu. Soal baterai lagi-lagi jadi kendala di kamera mirrorless, tak terkecuali di GM1 ini yang bisa bertahan hanya 200 kali foto.

Yang saya suka :

  • fitur lengkap (termasuk HDR, timelapse, stop motion, peaking dll)
  • layar sentuh untuk ganti setting dan memilih area fokus
  • fokus DFD cepat
  • ada full elektronik shutter, shutter mekanik bisa jadi awet
  • scene mode dan filter efek berlimpah

Yang saya kurang suka :

  • ISO mulai dari 200
  • tidak ada sweep panorama
  • hasil foto JPG Standard terlalau dikompres (solusi : pilih JPG fine)
  • tidak ada NFC
Viewing all 238 articles
Browse latest View live